Langsung ke konten utama

Suku Tengger

AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama-Agama Lokal

Dosen Pembimbing:
Siti Nadroh, MA


Kelompok 6:
Durotun Nafi’ah             11150321000007
Nadya Alisha Farha       11150321000038
Taufik                             11150321000063



PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH
JAKARTA
2017


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. atas rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal yang berjudul “AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER”.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Oleh karenanya, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan khususnya bisa bermanfaat bagi penyusun dan dapat menambah wawasan kita dalam mempelajari Agama-Agama Lokal yang ada di Indonesia.



Ciputat, 19 Maret 2017


Penyusun



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................  i
DAFTAR ISI ..................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................  1
A.  Latar Belakang ................................................................................  1
B.  Rumusan Masalah ...........................................................................  1
C.  Tujuan .............................................................................................  1
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................  2
A.  Asal-Usul Orang Tengger ...............................................................  2
B.  Pandangan Hidup, Kepercayaan, dan Orang Tengger ....................  5
C.  Ritus dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger .....................  10
D.  Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian .............................  19
E.   Interaksi Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-Agama
Lain .................................................................................................  22
BAB III KESIMPULAN ...............................................................................  25
DAFTAR ISI ..................................................................................................  26


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang sangat unik di mata dunia karena Indonesia memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh negara lain, salah satunya adalah keadaan masyarakatnya yang majemuk yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras, agama, bahasa maupun budaya. Salah satu kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari banyak suku-suku bangsanya. Seperti suku Batak, Jawa, Bugis, Tengger dan lain-lainnya.
Pada pembahasan ini dibatasi topiknya hanya pada suku Tengger. Dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah agama-agama lokal dan untuk menambah wawasan dalam mengenal kebudayaan suku-suku di Indonesia terutama suku Tengger.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana asal usul orang Tengger?
2.      Bagaimana pandangan hidup, kepercayaan dan orang Tengger?
3.      Bagaimana ritus dan upacara keagamaan masyarakat Tengger?
4.      Bagaimana upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian dalam suku Tengger?
5.      Bagaimana interaksi kepercayaan orang Tengger dan agama-agama lain?
C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui asal usul oorang Tengger. 
2.      Untuk mengetahui pandangan hidup, kepercayaan dan orang Tengger.
3.      Untuk mengetahui  ritus dan upacara keagamaan masyarakat Tengger.
4.      Untuk mengetahui  upacara kelahiran, perkawinan, kematian dalam suku Tengger.
5.      Untuk mengetahui  interaksi kepercayaan orang Tengger dan agama-agama lain.


BAB II
PEMBAHASAN
Secara geografis, suku Tengger berada di sekitar kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur, Indonesia. Penduduk Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang.[1]
Luas daerah Tengger kurang lebih 40 KM dari utara ke selatan dan 20-30 KM dari timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000M-3675M. Kaldera Tengger adalah lautan pasir terluas, terletak pada ketinggian 2300M, dengan panjang 5-10 KM. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392M dan masih aktif. Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggan 3676.[2]
a)      Roro Anteng dan Jaka Seger
Menurut mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger.[3] Setelah mengaruni bahtera rumah tangga sebagai pasangan suami istri tidak luput dari permasalahan hidup dan cobaan. Salah satunya adalah belum mendapatkan keturunan, sampai pada akhirnya mereka sepakat untuk elakukan semedi di Sanggar Pamujan. Dalam semedinya, mereka medapatkan petunjuk yang isinya bahwa mereka telah membuat satu kesalahan yang menyebabkan mereka tidak di karunia anak. Untuk menebus kesalahan mereka harus mengadakan upacara Selamatan Sepasar pada bulan Mengestin, mengadakan sadulur papat kelima badan dan mengadakan sesuci serta melaksanakan tolak brata selama 40 hari 40 malam (dari petunjuk inilah semua upacara yang dilaksanakan oleh Joko Seger dan Roro Anteng menjadi awal dari pelaksanaan upacara adat pujan Kpat sampai megeng dukun pada bulan kapitu diman para dukun mengadakan tolak brata untuk penyucian diri dan mengasah japa mantranya. Dalam melakukan Tolak Brata Joo Seger dan Roro Anteng diberikan petunjuk untuk mendapatkan keturununan mereka harus bersemedi di gunung yang diselimuti kabut di daerah Oro-oro Ombo yang kemudian oleh Joko Seger dinamakan Kawasan Gunung Bromo. Persemedian mereka tidak sia-sia, mereka berdua mendengar suara ghaib yng berasal dari gunung Oro-oro Ombo. Bahwa mereka telah lulus ujian dan melakukandalam rangka memohon diberi keturunan. Oleh karena itu mereka dikaruniai anak sebanyak 25 orang dalam kurun waktu 44 tahun, akan tetapi ada syarat yang harus mereka penuhi. Mereka harus merelakan anak terakhir mereka untuk tinggal di Gunung Bromo.
Dari ke-25 anak itu, anak bungsu yang diberi nama Dewa Kusuma. Anak ini setelah dewasa dikorbankan kepada Bharata Dharma di kawah gunung Bromo. Sebelum dikorbankan, Dewa Kusuma berpesan agar setiap tahun pada tanggal dan bulan pada saat dirinya dikorbankan, saudara, anak cucu mereka diharapkan mengirimkan korban dan sesaji dikemudian hari. Itulah pesan Dewa Kusuma sebelum ia dikorbankan, dan pesan itu dilaksanakan turun-temurun hingga kini, dari sinilah asal muasal peringatan Hari Kasada.[4] Dengan demikian, masyarakat Tengger beranggapan 25 orang anak Roro Anteng dan Joko Seger itu merupakan nenek moyang mereka. Nama dari 25 orang anak Roro Anteng dan Joko Seger juga dikaitkan dengan tempat-tempat kramat dimana mereka memberi sesajian dan penyembahan roh-roh yang di yakini bisa memberikan keselamatan hidup.[5]
b)      Orang Tengger
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan penga ruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka hidup di sekitar orang Jawa yang telah mengalami banyak perubahan sejak abad ke-19. Setidaknya di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terdapat beberapa data arkeologis yang dapat mengungkapkan kesejarahan orang Tengger. Dalam prasasti yang berangka tahun 929 Masehi (Prasasti Tengger) dan juga prasasti logam yang berangka tahun 1402 Masehi, disebutkan bahwa di wilayah pegunungan Tengger itu ada sebuah desa bernama Walandhit atau Wancalit yang dihuni oleh orang-orang yang menghabiskan hidupnya melayani dan mengabdi kepada Dewa, mereka dikenal sebagai Hulun Hyang.[6]
c)      Gunung Bromo
Gunung Bromo sebuah gunung wisata yang terletak di Taman Nasional. Bromo Tengger Semeru. Pada jaman dahulu ada seorang wanita cantik titisan para dewa bernama Roro Anteng. Pada jamannya banyak pria yang menyukai wanita ini. Akan tetapi hatinya jatuh kepada Joko Seger. Dari sinilah sejarah Gunung Bromo di mulai. Sebelum menikah dengan Joko Seger tersebut, ada seorang penjahat sakti bernama Kyai Bima yang juga menyukai Roro Anteng. Namun karena Roro Anteng tidak menyukainya, maka ia pun menolaknya secara halus dengan memberikan syarat, yaitu membuatkannya lautan diatas gunung hanya dalam waktu satu malam. Legenda Gunung Bromo dan Sejarah Suku Tengger pun berlanjut. Tanpa di duga Kyai Bima menyanggupinya. Dengan sekuat tenaga ia lautan dengan tempurung, dan lautan pasir yang saat ini disebut segara wedhi serta sumur raksasa untuk mengairi lautan pasir yang saat ini disebut kawah gunung Bromo. Melihat Kyai Bima hampir berhasil, hati Roro Anteng tidaklah tenang. Maka ia pun langsung beraksi dengan menumbuk padi sekeras mungkin agar para ayam berkokok yang menandakan pagi menjelang. Dan aksinya tersebut sukses. Mendengar kokokan ayam dan kicauan burung membuat Kyai Bima menyerah dan meninggalkan pekerjaannya. Pada akhirnya Roro Anteng kembali melanjutkan hubungannya dengan Joko Seger. Mereka membuat suatu wilayah dan memimpin wilayah tersebut yang hingga saat ini disebut dengan nama suku Tengger.[7]
B. Pandangan Hidup, Kepercayaan, dan Orang Tengger
Seperti yang telah dibahas diatas, bahwa masyarakat Tengger mempercayai roh-roh yang memiliki kekuatan dan membuat berbagai sesajian untuk dipersembahkan.[8] Berikut akan dibahas tentang kepercayaan masyarakat Tengger.
a.      Animisme
Animisme (anima=nyawa, roh), ialah suatu kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan roh atau makhluk halus yang mengelilinginya di rumah, di ladang, di desa, dan tempat lainnya. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting, roh nenek moyang dari anak cucu yang masih hidup. Di dalam animisme kita menemukan suatu sistem keagamaan yang berisi rangkaian upacara, tanggapan, persembahan yang bersifat religius-magis. Jika perkembangan kemudian paham animisme ini meyakini adanya “dewa-dewa tertinggi”, maka hal ini merupakan perkembangan pemikiran tentang penciptaan dunia.
b.      Konsep Tentang Tuhan
Dalam agama Budha Tengger tidak ditemukan adanya suatu konsep tunggal tentang Tuhan dan dewa-dewa. Menurut agama Budha Tengger untuk daerah sekitar Ngadasari, pengertian tentang dewa Trimurti ialah Sang Hyang Betoro Guru, Sang Hyang Betoro Wisnu, dan Sang Hyang Betoro Siwo. Tidak diketahui dengan jelas bagaimana perbedaan kosep tentang dewa dengan konsep pemikiran tentang Sang Hyang. Hal ini terlihat pada upacara korban di gunung Bromo pada upacara Kesodo, dimana sesajian di gunung Bromo yang merupakan persembahan kepada Betono Promo dan kepada Dewa Kesumo. Pengaruh agama Islam nampak pula pada konsep Tuhan masyarakat Tengger, seperti terlihat pada mantra-mantra dengan diucapkannya lafadz-lafadz Allahu Akbar, Dzatullah Illulah, nabi, wali dan sebagainya.[9]
c.       Sembahyang dan Semedi
Di samping melaksanakan sesaji dan upacara selamatan, agama Buddha Tengger juga mengenal adanya tata cara sembahyang yang disebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan di rumah, sanggar pemujaan dan sebagainya. Semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sanksi. Pelaksanaan semedi lebih menjurus ke arah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maha Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa. Sebelum melakukan semedi harus mandi keramas terlebih dahulu dengan air air yang sudah diberi mantra, ini dilakukan sebagai bentuk mensucikan diri. Semedi dilakukan pada pagi hari dengan menghadap ke Timur dan sore hari dengan menghadap ke Barat, sedangkan semedi bersama dilakukan di sanggar pemujaan pada bulan purnama tanggal 15 setiap bulan sekali.[10]
d.      Konsep Alam
Masyarakat Tengger mempercayai alam lain dibalik kehidupan yang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka bertempat di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci. Manusia yang baik, jika ia meninggal rohnya akan masuk surga, sebaliknya jika manusia jahat akan masuk neraka. Bagi roh yang telah disucikan, roh itu dapat melanjutkan perjalanannya menuju surga.[11]
e.       Tujuh Ajaran Tentang Kehidupan
Kehidupan masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang teratur dan serasi. Ketaatan masyarakat terhadap ajaran agamanya dikenal dengan tujuh ajaran kehidupan yang biasanya dibacakan saat hari raya Kesodo.[12]
1.         Hong pukulan maniro sak sampune demerek ing sasi kasodo maningo in temah” artinya, Yang Maha Kuasa pelindung seluruh makhluk mengetahui amal perbuatan manusia, memberikan berkahnya pada bulan Kesodo. 
2.         Milango ing sarining potro kanggo milar pajenengan ing manah” artinya, hendaklah manusia berbuat amal kebajikan, merubah perbuatan buruk menjadi baik, memperhatikan gerak hati yang bersih.
3.         Kang adoh pinerekaken, kang parek tinariko nang aron-aron” artinya, orang yang jauh dari kebaikan supaya di peringatkan untuk berbuat baik dan diajak untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
4.         Angrasuko ajang kang pinuju ing Sang Hyang Sukmo” artinya, kerjakanlah perbuatan yang terpuji supaya selamat jiw dan raga dan mendapat ridho Tuhan.
5.         Jiwo raga sinusupan babahan werno songo” artinya, hendaklah jiwa raga terjaga segala sesuatu yang memasuki lubang sembilan pada manusia.
6.         Ngelingono jiwo premono banimbobo banyu karahayuan” artinya, hendaklah manusia mempunyai hati yang bersih (welas asih) dan berbuat kasih sayang terhadap semua makhluk.
7.         Deniru neediyo nyondro nitis sepisan kerto rabayu palinggibane titi yang lurab, lurab keyabi dukun sagunge anak putu adoyo puluh” artinya, bila petunjuk-petunjuk tersebut dilaksanakan dengan  sebaik-baiknya dengan jiwa mantap oleh seluruh lapisan masyarakat, maka manusia setelah mati akan mendapatkan ketentraman dan kebahagian jiwa yang disebut sebagai mati sempurna.
Selain ajaran tujuh tentang kehidupan, masyarakat Tengger memiliki acuan  hidup yang disebut Tujuh Petunjuk Tentang Kasih Sayang. Oleh karena itu masyarakat Tengger dikenal mempunyai sifat yang halus, penolong, kasih sayang, dan sikap gotong royong.[13]
f.        Peran Dukun Dalam Masyarakat Tengger
Hasil gambar untuk dukun tengger 

Pada kehidupan sosial masyarakat Tengger, ada hal yang menarik, yaitu, walaupun masyakat suku Tengger ini tersebar dan terpisah di empat kawasan administratif (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang), orang-orang Tengger satu sama lain memiliki ikatan emosionalitas yang cukup tinggi. Wilayah administratif hanya menunjukkan batas wilayah fisik, tetapi ikatan batin antara mereka terjalin secara historis dan turun temurun yang tidak bisa dibatasi oleh garis perbatasan. Kuatnya ikatan antar masyarakat di pegunungan Tengger, utamanya masyarakat yang selama ini mengidentifikasi diri sebagai “masyarakat adat Tengger”, terutama dipengaruhi oleh kesamaan identitas dan adat istiadat yang mereka miliki. Artinya, kuatnya masyarakat Tengger dalam memegang nilai-nilai adat istiadat selama ini memberikan pengaruh positif bagi kuatnya ikatan batin antar masyarakat dalam komunitas Tengger.
Sistem sosial masyarakat suku Tengger tidak bisa dilepaskan dari peran dukun. Dukun merupakan  pewaris tradisi Tengger, memegang peranan yang sangat strategis, sama dengan kedudukan kiai dalam masyarakat Muslim dan pendetadalam masyarakat Kristen serta pastor dalam Katolik. Di Tengger, pengertian dukun sangat jauh berbeda dengan pengertian dukun pada masyarakat lain. Seorang dukunTengger merupakan tokoh panutan masyarakat yang mempunyai fungsi spiritual, yaitu memimpin upacara keagamaan atau adat, memimpin upacara perkawinan, kematian dan berbagai keperluan religius lainnya. Sedangkan fungsi sosialnya, seorang dukun berperanan sebagai mediator antara urusan warga masyarakat (selain urusan yang berhubungan dengan pemerintahan). Memang kadang-kadang para dukun juga dimintai tolong oleh warga untuk urusan pengobatan, namun ini di luar fungsi dan tugas utama seorangdukun Tengger. Fungsi utama dukun Tengger ini adalah sebagai pemandu spiritual warga.[14]
Masing-masing desa Tengger memiliki satu orang dukun desa. Desa yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan wilayah yang luas, dapat memiliki lebih dari satu dukun (biasanya dua orang dukun) untuk dapat menjangkau umat tersebut. Untuk dapat menjadi seorangdukun, syaratnya harus memiliki kemampuan khusus dan disegani masyarakat.[15]
Seorang dukun (dukun desa) hanya bertanggung jawab terhadap umat yang ada di desanya. Di setiap desa Tengger, baik yang berada di Probolinggo maupun Pasuruan, Lumajang maupun Malang, masing-masing memiliki seorang dukun. Dukun-dukun desa ini dikoordinasi oleh dukun yang bertindak selaku koordinator wilayah untuk masing-masing distrik Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang. Pembagian wilayah kekuasaan ini, untuk daerah timur (disebut Brang Wetan) yaitu Probolinggo dan Lumajang dikoordinasi oleh seorang Dukun Brang WetanDemikian pula untuk Brang Kulon (wilayah Barat) yaitu Pasuruan dan Malang, dikoordinasi oleh seorang Dukun Brang KulonDan untuk mengkoordinasi semua dukun, mulai dari Dukun Desa (dukun desa biasanya hanya disebut dukun saja) hingga Dukun Brang,adalah seorang Kepala Dukun. Kepala dukun ini dipilih oleh semua dukun dan sesepuh desa, termasuk kepala desa. Pemilihan dilakukan secara musyawarah kekeluargaan, yang dilakukan secara santai sambil menikmati malam di kawasan gunung Bromo, tanpa ada pemilihan secara formal. Kepala dukun bertugas mengkoordinasi semua dukun Tengger yang tersebar di empat wilayah (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang). Termasuk dalam tugas kepala dukun adalah menyelesaikan konflik yang ada antar dukun, memfasilitasi pemecahan permasalahan umat Tengger di daerahnya masing-masing. Untuk melaksanakan tugasnya, dukun dibantu oleh pembantunya yang terdiri dari :[16]
·      Wong Sepuh: Jabatan Wong Sepuh ditetapkan oleh petinggi berdasarkan kecakapannya dalam melaksanakan tugas. Ia bertugas membantu menyediakan persyaratan sajian dan menjadi saksi.
·      Dandan: Seorang wanita yang membantu dukun yang bertugas memeriksa sesaji dan selamatan yang akan dilaksanakan.
·      Legen: Membantu dukun yang merupakan pesuruh untuk mempersiapkan aat-alat upacara dan pembakaran dupa.
C. Ritus dan Upacara Keagamaan Masyarakat Tengger
Tentang Keagamaan orang Tengger dipaparkan secara detail dalam serat Centhini, dalam Serat itu didiceritakan bagaimana adat dan tata cara beragama masyarakat Tengger dan Dewa-dewa mereka, seperti Dewa Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, Sambo, dan juga kepercayaan terhadap Kala. Orang-orang Tengger beribadah dan menjalankan adat istiadat mereka dengan menghayati sesanti Titi Luri, yaitu mengikuti jejak leluhur, meneruskan kepercayaan dan budaya nenek moyang mereka. Tetap terpelihara selama berabad-abad dalam naskah lontar yang hanya dibaca oleh para pendeta, tata cara peribadatan tersebut memberikan cakrawala yang sangat penting mengenai tradisi keimanan mereka. Meskipun dalam keseharian disebut dukun–yang kini kata itu lebih banyak dimaknai negatif– dahulu istilah  ini dipakai hampir di seluruh Jawa untuk ahli adat yang memiliki pengetahuan khusus, dalam doa yang sangat tua dan sangat rahasia, para pendeta Tengger ini juga disebut resi pujangga.[17]
Berikut adalah upacara-upacara keagamaan yang dilakukan orang tengger:
Hari raya Karo atau perayaan Karo terjadi pada bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo). Perayaan hari raya ini sangat mirip dengan perayaan Hari Raya Fitri yang dirayakan umat Islam. Pada perayaan ini, masyarakat saling berkunjung ke rumah sanak saudara, teman, dan juga para tetangga. Perayaan ini dirayakan secara besar-besaran, berpuluh-puluh ternak, ayam, kambing, sapi, dan babi disembelih untuk dinikmati dagingnya. Upacara ini diadakan untuk memohon keselamatan sebagai penghormatan kepada bapak dan ibu, karena mereka merupakan perantara dari Tuhan untuk menyebarkan bibit manusia. Menurut masyarakat Karo, perayaan ini dirayakan untuk memperingati meninggalnya dua orang abdi yang setia dalam melaksanakan tugasnya. Dua abdi tersebut bernama Setio Abdi dari Aji Saka dan Satuhu Abdi dari Kanjeng Nabi Muhammad.[18]
Ritual upacara Karo dipimpin oleh beberapa Ratu yang telah ditunjuk oleh masyarakat. Kata Ratu sendiri di mata masyarakat Tengger berarti pemimpin dan sama sekali tidak berkonotasi perempuan. Jadi Ratu dalam hal ini adalah pemimpin yang bisa saja berkelamin laki-laki. Ritual karo sendiri dibuka dengan pertemuan kedua orang Ratu dalam sebuah tempat yang nantinya akan dipakai sebagai tempat berlangsungnya upacara. Pertemuan kedua ratu ini menjadi tanda dimulainya Upacara Sodoran, salah satu bagian dari rangkaian Karo. Perjumpaan tersebut melambangkan bersatunya roh leluhur, cikal bakal manusia, yakni laki-laki dan perempuan.
Sambil bergandengan tangan, kedua ratu memasuki tempat tersebut. Dalam ritual ini yang boleh mengikuti jalannya upacara hanya kaum laki-laki saja dan kaum perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengikutinya. Dan setelah semua hadirin dipastikan telah hadir semua maka upacara ini pun dibuka dengan pembacaan mantera yang dilakukan oleh kedua Ratu mereka untuk mensucikan tempat dimana upacara itu berlangsung. Setelah itu barulah diadakan upacara memandikan Jimat Kelontongan diiringi dengan tarian sodor. Jimat kelontongan sendiri merupakan sekumpulan benda keramat. Sedangkan tarian sodor adalah sebuah tarian yang dilakukan oleh 4 orang secara bergiliran (dari semula hanya satu penari kemudian secara simultan bertambah hingga kemudian genap menjadi 4 penari dan saling berpasangan satu sama lain) yang melambangkan pertambahan generasi masyarakat Karo dari waktu ke waktu.
Sementara upacara sodoran ini hampir usai di luar kaum ibu-ibu beserta anak mereka pun mulai berdatangan sambil membawa makanan untuk suami dan ayah mereka yang sedang melakukan upacara sodoran. Mungkin inilah alasan kenapa selama berlangsungnya acara sodoran ini kaum perempuan tidak diperbolehkan ikut, karena mereka harus menyiapkan makanan yang akan disantap oleh suami dan ayah mereka setelah upacara selesai. Pada sore harinya, upacara sodoran dilanjutkan dengan upacara tumpeng gedhe untuk mengungkapkan perasaan syukur mereka dangan hasil panen yang melimpah dan dianugerahi tanah yang subur. Tumpeng-tumpeng ini dikumpulkan dari warga, lalu dimantrakan oleh dukun adat desa setempat. Tumpeng yang sudah dimantrai, dibagi-bagikan kepada warga untuk digunakan dalam ritual selanjutnya, Sesandingan. Ritual Sesandingan inilah yang diyakini masyarakat Tengger sebagai Puncak Karo. Setelah upacara tumpeng gedhe selesai, keesokan harinya warga pun menggelar upacara Sesandingan di rumah masing-masing yang bertujuan untuk memberikan makanan atau dedaharan kepada leluhur mereka. Upacara ini harus dipimpin oleh dukun adat mereka masing-masing yang dalam satu desa.
Setelah acara puncak sesandingan selesai, pada hari keempat dan kelima masyarakat Tengger berkeliling kampung untuk bersilaturahmi dengan sanak kerabat mereka layaknya hari lebaran pada agama-agama lainnya berikut sowan ke kuburan untuk nyekar kepada makam leluhur dan anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Berziarah ke makam leluhur atau nyadran, adalah bagian dari ritual Karo yang dilakukan sehari sebelum ritual penutup, yakni hari keenam. Makam pertama yang didatangi adalah makam kramat Sang Eyang Guru. Masyarakat Tengger percaya, doa dan harapan mereka akan dikabulkan, bila rajin memberikan sesajian kepada Sang Guru.
Dari makam Sang Guru, nyadran kemudian dilanjutkan ke makam keluarga. Ini bukanlah aksi gaya-gayaan warga Tengger. Ini adalah atraksi tarian Ujung-ujungan, yang mengawali rangkaian penutupan upacara Karo pada hari ketujuh. Disebut Ujung-ujungan karena para penari yang bertelanjang dada, secara bergantian memukul lawannya, menggunakan ujung rotan. Tarian ini sendiri merupakan ungkapan rasa syukur mereka karena telah berhasil dan lancar melaksanakan upacara Karo, oleh karenanya tak ada istilah kalah dan menang dalam kegiatan ini. Kemudian menjelang Maghrib, sebagai penanda selesainya rangkaian upacara Karo warga berduyun-duyun mendatangi rumah dukun adat membawa kemenyan untuk dimantrakan oleh sang dukun adat. Kemenyan ini sendiri nantinya akan dipakai oleh keluarga masing-masing dalam upacara memulangkan arwah leluhur. Dengan ritual pemulangan roh leluhur atau biasa dikenal dengan istilah Mulehi Ping Pitu tersebut, maka rangkaian upacara Karo pun berakhir sudah.[19]
2.      Hari Raya Kasadha

Upacara Kasada (Hari Raya Yadnya Kasada) atau Kasodo yaitu suatu upacara adat suku Tengger yang dilakukan setiap tahun sekali (penanggalan agama Hindu Tengger), yaitu ketika sudah memasuki bulan Kasada, pada hari ke-14. Upacara Yadnya Kasada merupakan pemberian sesajen untuk sesembahan, yaitu Sang Hyang Widhi dan para leluhur suku Tengger (Dewi Roro Anteng dan Joko Seger). Lokasi upacara adat suku Tengger ini digelar di Pura Luhur Poten, tepat di lautan pasir Bromo dan dekat dengan kaki Gunung Bromo. Upacara Adat Yadnya Kasada Suku Tengger atau Hari raya kasada dilakukan pada tengah malam dan selesai pada dini hari. Upacara adat suku Tengger ini bertujuan untuk mengangkat dukun atau tabib yang ada di setiap desa di sekitar Gunung Bromo. Pada festival ini masyarakat suku Tengger akan melemparkan sesajen berupa hasil panen seperti sayuran, buah-buahan, atau hewan ternak seperti ayam atau kambing bahkan ada juga yang melemparkan uang ke kawah gunung tersebut. Ini adalah upacara adat yang hanya dimiliki oleh suku Tengger Bromo dan tidak ada lagi upacara Kasada yang serupa di seluruh dunia. Walaupun ada di Bali tapi upacaranya berbeda.[20]
Perayaan ini bertujuan sebagai sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Widi, serta roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger. Mereka percaya, jika mereka tidak turut merayakannya maka kehidupannya tidak akan tentram. Sebaliknya jika mereka melaksanakan upacara tersebut, maka hidupnya akan selamat dan dimurahkan rejeki.[21]
Pada perayaan Kasadha, orang-orang desa berduyun-duyun ke lereng Gurung Bromo mempersembahkan kurban makanan dan hewan kepada roh gunung berapi yang masih aktif.[22] Proses berjalannya upacara Kasada dimulai pada Sadya kala puja dan berakhir sampai Surya puja dimana seluruh masyarakat Tengger menuju Gunung Bromo untuk menyampaikan korban. Upacara Kasada dimulai dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Tepat pada pukul 24.00 diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan masyarakat di lautan pasir Gunung Bromo. Bagi masyarakat Tengger, dukun merupakan pemimpin dalam bidang keagamaan yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkawinan dll. Pada saat ini sebelum dukun dilantik,  para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra. Setelah selesai upacara, ongkek yang berisi sesaji dikorbankan di Puden Cemara Lawang dan kawah Gunung Bromo. Seluruh ongkek tersebut dilemparkan ke dalam  kawah sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan nenek moyang mereka.[23]
3.      Upacara Unan-Unan
 

Upacara ini dilakukan dalam lima tahun sekali menurut kalender Tengger. Upacara ini biasa disebut sebagai bersih desa. Upacara ini diperingati dengan tujuan untuk memohon pengampunan untuk arwah para leluhur, memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian yang abadi. Selain itu, upacara ini juga dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna kematian fisiknya. Pengorbanan dalam bentuk kerbau selalu terjadi dalam upacara Unan-unan. Kepala dari kerbau tersebut diarak dari kampung menuju sanggar utama sambil membaca doa-doa dan mantra-mantra agar seluruh makhluk hidup tidak mengganggu sepanjang ritual ini berlangsung. Bagi mereka kerbau adalah binatang yang memiliki karakter agung, kuat dan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ketika acara puncak, hanya masyarakat Tengger dan tokoh masyarakat saja yang diizinkan memasuki area utama upacara.[24]
Entas-entas merupakan suatu upacara yang berlangsung selama tiga hari untuk membantu roh orang mati menemukan jalan ke surga. Tiga jenis roh di wakili oleh patung-patung kecil (Petra/ bespa) yang dibuat dari dedaunan dan bunga. Mereka merupakan Roh keluarga dekat yang harus disucikan sebelum naik ke surga, roh-roh keluarga dari generasi dahulu yang bertindak sebagai saksi, dan dewa pelindung yang akan memimpin roh yang sudah disucikan itu ke surga.
Puncak upacaranya ialah pada hari ketiga ketika dilaksanakan upacara penyucian (palukaten). Petra-petra itu ditaruh dalam bejana tanah liat berisi uang logam sebagai bekal kubur bagi roh. Di depannya, wadah-wadah bambu berisi beras yang di dalamnya diletakkan gelang tali yang dipakai toh yang sedang disucikan, kemudian sesajian makanan. Keluarga orang yang mati duduk di bangku sambil memegang petra dan ditutup oleh kain putih. Upacara penyucian meliputi menjahit kain di atas kepala setiap anggota keluarga, dan juga daun pada petra, oleh pendeta. Rambut anggota keluarga dan petra kemudian dibakar. Seekor bebek dilintaskan di atas kepala mereka sebelum dilemparkan ke dalam ruangan. Proses itu diulangi dengan memakai seekor ayam.
Akhirnya pendeta kemudian mengucapkan doa-doa singkat atas setiap orang kemudian tiga kali memutar petra berlawanan dengan arah jarum jam sebelum menempatkannya di dalam bakul nasi yang mengepul. Kain putih dilambai-lambaikan di atas kepala anggota keluarga kemudian roh-roh diperintahkan untuk pergi. Kini roh orang-orang yang mati dapat pergi ke surga dengan bebas. Petra-petra dibawa ke tempat upacara di desa dan dibakar. Di desa-desa yang sangat kuat dengan tradisi Parisadha, pembakaran petra dirayakan dengan lebih meriah karena memiliki yang kuat dengan gagasan orang Bali mengenai pengabuan mayat.[25]
5.      Upacara Kapat
Upacara ini digelar pada bulan keempat menurut perhitungan Saka dan bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta penyucian terhadap arah mata angin.[26]
6.      Upacara Kawalu
Diselenggarakan pada bulan kedelapan tahun Saka, yang digelar untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan alam semesta.[27]
7.      Upacara Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan di mana masyarakat akan berkeliling desa membawa kentongan dan obor dan sesaji untuk memohon keselamatan.[28]
8.      Upacara Mayu Desa
Upacara ini diselenggarakan untuk melestarikan sumber air dan terhindar dari bencana.[29]
D. Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian
Dalam tradisi dan adat masyarakat Tengger, ada ungkapan “jika masih mentah sama adil, jika telah masak tiada harga”, maksud dari ungkapan ini adalah agar manusia pada waktu muda dapat bersikap adil dan ketika matang secara usia harus menyiapkan dirinya untuk masa tua serta hari akhir. Ada tiga tahap penting dalam siklus usia orang Tengger yaitu:
·         Umur 0 sampal 21 tahun (wanita) dan 27 tahun (pria), dilambangkan sebagai bramacari yaitu masa yang tepat untuk mencari pengetahuan.
·         Usia 21 tahun (wanita) atau 27 tahun (pria) sampai 60 tahun, dilambangkan sebagai griasta, yaitu masa yang tepat untuk membangun sebuah rumah tangga dan hidup mandiri.
·         Usia 60 tahun ke atas, dilambangkan sebagai biksuka, yaitu manusia yang harus lebih mementingkan masa-masa akhir dalam hidupnya.
Selain itu juga ada siklus penting dalam kehidupan orang Tengger, di mana setiap siklus ini selalu diwarnai oleh upacara-upacara, yaitu:
1.    Upacara Kelahiran
Dalam menyambut masa kelahiran kurang lebih terdapat tujuh upacara yang berkaitan, yaitu:
a.    Ketika bayi masih dalam kandungan dan berumur tujuh bulan diadakan upacara selametan nyayut, ada juga yang menyebutnya upacara sesayat. Maksud upacara adalah agar si bayi lahir dengan selamat dan juga lancar dalam proses persalinan.
b.    Setelah bayi tersebut lahir dengan selamat, maka diadakan upacara sekul brokahan, ari-ari si bayi disimpan di dalam kendi atau wadah, kemudian di letakkan di sanggar.
c.    Pada hari ketujuh dan atau hari kedelapan setelah kelahiran, diadakan upacara cuplak puser, yaitu untuk menghilangkan kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bisa selamat saat pusar telah cukup kering dan bagian yang kotor akan lepas.
d.    Pada saat bayi diberi nama, diadakan upacara selamatan jenang abang (bubur merah) dan jenang putih (bubur putih). Tujuan upacara ini agar sang bayi diberi keselamatan.
e.    Kemudian upacara Kekerika yang diadakan saat bayi telah berumur 40 hari. Dalam upacara kekerik ini lidah bayi dioles-oles dengan sejenis rumput yang bertujuan agar kelak sang bayi tidak salah ucap dalam bicara.[30]
f.     Kemudian, saat bayi berumur 44 hari diadakan upacara among-among, agar bayi terbebas dari gangguan mahluk jahat.
g.    Dan saat anak berumur 4 tahun diselenggarakan upacara Tugel Kuncul atau juga dikenal dengan upacara Tugel Gombak. Dalam upacara ini, rambut bagian depan anak dipotong agar senantiasa mendapat keselamatan Sang Hyang Widhi.
2.    Upacara Perkawinan
Perkawinan merupakan bagian penting dalam perjalanan umat manusia. Bagi orang Tengger, perkawinan bukan hanya peristiwa yang menyangkut dua orang tetapi melibatkan dua keluarga dan juga masyarakat secara umum. Dalam kepercayaan mereka, peristiwa perkawinan akan disaksikan oleh arwah-arwah leluhur. Dengan demikian, sebelum upacara perkawinan digelar, mereka biasanya melakukan upacara nelasih (ziarah kubur). Orang Tengger melaksanakan perkawinan dengan kalangan mereka sendiri atau yang disebut sebagai endogami. Apabila salah satu calon berasal dari dari daerah luar, pelaksanaan pernikahan harus sesuai dengan adat Tengger. Akan tetapi, dalam perkembangannya perkawinan ini juga boleh berlangsung mengikuti adat aturan tempat calon lain dan tetap akan diakui sebagai orang Tengger sebagai sedulur (kerabat).
Perkawinan dalam adat Tengger tidak boleh dilakukan jika masih memiliki kekerabatan dekat, misalnya satu canggah (neneknya nenek) dan perkawinan akan dibatalkan jika kerubuhan gunung atau kesandung watang, yaitu ada musibah misalnya keluarga dekat meninggal. Upacara perkawinan pada masyarakat Tengger biasanya dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang sesuai dengan saptawara atau pancawara dari kedua calon yang akan menikah. Juga diadakan perhitungan berdasarkan sandang (pakaian), pangan (makanan), lara (sakit), dan pati (kematian).
Hari pernikahan haruslah menghindari lara dan pati. Apabila terpaksa, harus diadakan upacara ngepras, yaitu dengan digelar sajian yang diberi mantra dan diadakan kurban agar tetap selamat. Bagi mereka, melaksanakan upacara perkawinan dan jatuh pada hari lara dan pati, maka setiap tahun harus melaksanakan upacara ngepras. Puncak dari upacara perkawinan adalah Walagra, yaitu akad nikah yang dipimpin oleh seorang pendeta. Dalam upacara ini pendeta akan membawa secawan air yang kemudian dituangkan dalam prasen yang telah diberi mantra. Selanjutnya kedua mempelai mencelupkan jari mereka ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada tugu, pintu, dan tangan para tamu, dengan maksud agar doa dan restu, serta keselamatan membimbing kehidupan baru mereka.[31]
3.    Upacara Kematian
Upacara kematian digelar secara bergotong-royong. Semua orang memberi bantuan, baik itu perlengkapan dan keperluan untuk upacara penguburan (nglawuh). Setelah dimandikan, mayat diletakkan di atas balai yang kemudian seorang pendeta akan mendoakan dan memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah. Sebelum kuburan digali, dukun terlebih dahulu menyiramkan air ke dalam keranda yang telah diberi mantra dan doa. Tanah yang tersiram air doa itu kemudian digali untuk digunakan sebagai liang kubur. Mayat orang Tengger akan dibaringkan dengan kepala yang membujur ke arah Selatan, yaitu ke arah Gunung Bromo.
Saat petang, keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan upacara dan orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari daun-daunan dan bunga dan juga terdapat berbagai macam sajian. Selain itu, upacara kematian lainnya adalah upacara entas entas, yang bertujuan mengantar orang yang telah meninggal untuk pergi ke surga.[32]
E. Interaksi Kepercayaan Orang Tengger dengan Agama-Agama Lain
Masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang sangat teratur dan serasi, jarang sekali diantara mereka terjadi perselisihan, permusuhan, dan perbuatan-perbuatan lain yang bersifat destruktif. Seperti salah satu desa yang bernama desa Wonokitri di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan yang terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan merupakan desa sebagai tempat tinggal komunitas Suku Tengger. Terdapat keunikan pada pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terkait dengan perilaku positif masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan ruang dan adaptasi terhadap lingkungan di sekitarnya.
Pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri bersumber dari nilai budaya, religi dan adat-istiadat setempat. Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku dan tindakan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri diatur oleh ketentuan adat berupa aturan-aturan adat dan hukum adat yang berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat. ada sebuah sistem pengendalian sosial yang disepakati dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat Tengger, yaitu adanya hukum adat untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.[33] Aturan-aturan adat yang harus ditaati masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri antara lain:
1.   Tidak boleh menyakiti atau membunuh binatang (kecuali untuk korban dan dimakan).
2.   Tidak boleh mencuri
3.   Tidak boleh melakukan perbuatan jahat
4.   Tidak boleh berdusta
5.   Tidak boleh minum minuman yang memabukkan.
Fungsi hukum adat sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat adalah:[34]
1.   Memberikan keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adat-istiadat Tengger yang berlaku.
2.   Memberi ganjaran pada anggota masyarakat yang tidak pernah melakukan kejahatan.
3.   Mengembangkan rasa malu.
4.   Mengembangkan rasa takut dalam jiwa anggota masyarakat yang hendak menyimpang dari ketentuan adat.
Pada kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terdapat konsep yang menjadi landasan sikap hidup masyarakat yaitu konsep anteng-seger (Tengger) yang berarti damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari hubungan tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam
Pada saat ini, agama Hindu makin berkembang di Tengger. Berawal ketika tahun 1979, rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger. Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak dan orang dewasa dan mengajar generasi muda Tengger membaca doa dalam bahasa Sansekerta. Parisada Hindu didirikan untuk mengurus pernikahan dan kematian, serta melaksanakan kebijakan yang dikembangkan oleh parisada yang lebih tinggi yang berkedudukan di Surabaya. Menjelang tahun 1980 ketika pembaharuan Hindu mulai agresif, muncul kontroversi di antara dukun Tengger. hampir separuh dukun Tengger menentang gerakan tersebut. Untunglah, suasana kehidupan yang beraroma konflik tersebut tidak berlangsung lama.[35]
Pengaruh Islam juga nampak dengan adanya konsep Tuhan Masyarakat Tengger, seperti terlihat pada mantera-mantera yang diucapkannya adalah Allahu Akbar,Dzatullah Illullah, Nabi, Wali, Kiblat, Syahadat, Klimah loro, Gusti Kang Moho Agung, dan sebagainya.



BAB III
KESIMPULAN
Tengger memang berada pada lereng pegunungan Tengger dan Semeru. Ada pula pengaitan tengger dengan mitos masyarakat tentang suami istri cikal bakal penghuni wilayah Tengger yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Selain itu, di wilayah ini terdapat pula cerita tentang Sejarah Gunung Batok, Lautan Pasir, Kawah Bromo. Kisah lainnya menyangkut Ajisaka aksara Jawa, juga kisah Klambi Antrakusuma.
Kepercayaan mereka terlihat pada unsur  animisme, yakni adanya roh-roh yang memiliki kekuatan  karena itulah mereka membuat berbagai upcara dan sesajian. Kepercayaan masyarakat Tengger diantaranya animisme, konsep tentang tuhan, sembahyang dan semedi dll.
Dan Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger.  
DAFTAR ISI
Widyaprakoso, Simahnadi. Masyarakat Tengger: Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo.
Sutarto, Ayu. 2008. Kamus Budaya dan Religi Tengger. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Afia, Neng Darol. 1997. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI.
Mufid, Ahmad Syafi’i. 1999. Tradasi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Dapertemen Agama RI.
Soewoondho. Kedudukan dan Peran Dukun dalam Perkawinan.
Fox, James J. 1998.  Indonesian Heritage: Agama dan Upacara.
Sutarto. 1999. “Komunitas Lokal dalam Perspektif Perubahan Sosial Budaya: Kasus Tengger”. Makalah dalam Simposium Nasional dalam Rangka Lustrum VII Universitas Jember.
Hefner, Robert W. 1990. The Political Economy on Mountain Java: In Interpretive History. Barkeley: University California Press.
Sumber http://www.wacana.co/2015/10/tengger-sejarah-legenda-dan-budayanya/ , diakses 16 Maret 2017, jam 14.00 WIB.
Sumber http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1159/upacara-adat-kasada , diakses 18 Maret 2017, jam 22.40 WIB.
Sumber https://rofy20.wordpress.com/2015/01/23/upacara-karo-suku-tengger/ , diakses 19 Maret 2017, jam 22.00 WIB.
Sumber http://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3398141206105758.pdf , diakses 19 Maret 2017, jam 23.06 WIB.
Sumber http://wkwk.lecture.ub.ac.id/tag/dukun-tengger/ , diakses 15 April 2016, jam 21.17 WIB.
Sumber https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Tengger , diakses 20 April 2017, jam 17.31 WIB.
Sumber http://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3398141206105758.pdf, diakses 20 April 2017, jam 20.40 WIB.
Sumber http://wisata-bromo.com/legenda-gunung-bromo-sejarah-bromo/, diakses 20 April 2017, jam 20.44 WIB.
Tengger, Sejarah, Legenda dan Budayanya”, http://www.wacananusantara.org/tengger-sejarah-legenda-dan-budayanya/, diakses 20 April 2017, jam 21.00 WIB.
Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf, diakses 21 April 2017, jam 20.00 WIB.
Sumber “Kearifan Lokal Masyarakat Tengger”, http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2011/03/kearifan-lokal-masyarakat-suku-tengger.html , diakses 15 April 2016, jam 21.41 WIB.





[1] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Tengger , diakses 20 April 2017, jam 17.31 WIB.
[2] Sumber http://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3398141206105758.pdf, diakses 20 April 2017, jam 20.40 WIB.
[3] Simahnadi Widyaprakoso, Masyarakat Tengger: Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo, Hlm. 33-34.
[4]Ayu Sutarto, Kamus Budaya dan Religi Tengger, (Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember, 2008), Hlm. 62.
[5] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1997), Hlm. 44.
[6]Tengger, Sejarah, Legenda dan Budayanya”, http://www.wacananusantara.org/tengger-sejarah-legenda-dan-budayanya/, diakses 20 April 2017, jam 21.00 WIB.
[7] Sumber http://wisata-bromo.com/legenda-gunung-bromo-sejarah-bromo/, diakses 20 April 2017, jam 20.44 WIB.
[8] Ayu Sutarto, Loc. Cit., Hlm. 62.
[9] Neng Darol Afia, Op. Cit., Hlm. 47.
[10] Ahmad Syafi’i Mufid, Tradasi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Dapertemen Agama RI, 1999), Hlm. 51.
[11] Ibid, Hlm. 51-52.
[12] Neng Darol Afia, Op. Cit., Hlm. 49-50.
[13] Ibid, Hlm. 50.
[14] Soewoondho, Kedudukan dan Peran Dukun dalam Perkawinan, Hlm. 46.
[15] Sumber http://wkwk.lecture.ub.ac.id/tag/dukun-tengger/ , diakses 15 April 2016, jam 21.17 WIB.
[16]  Neng Darol Afia, Op. Cit., Hlm. 51.
[18] Neng Darol Afia, Op. Cit., hal. 52.
[21] Neng Darol Afia, Op. Cit., Hlm. 54.
[22] James J. Fox, Indonesian Heritage: Agama dan Upacara, 1998, hal. 78.
[26]Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf, diakses 21 April 2017, jam 20.00 WIB.

[27]Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf, diakses 21 April 2017, jam 20.00 WIB.
[28]Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf, diakses 21 April 2017, jam 20.00 WIB.
[29]Sejarah Agama Tradisi Tengger Bromo”, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/sejarahAgamaTradisiTenggerBromo_AlphaSavitri_OK.pdf, diakses 21 April 2017, jam 20.00 WIB.
[30] Ahmad Syafi’i Mufid, Op. Cit., Hlm. 56.
[31] Sutarto, “Komunitas Lokal dalam Perspektif Perubahan Sosial Budaya: Kasus Tengger”, Makalah dalam Simposium Nasional dalam Rangka Lustrum VII Universitas Jember, 1999.
[33] “Kearifan Lokal Masyarakat Tengger”, http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2011/03/kearifan-lokal-masyarakat-suku-tengger.html , diakses 15 April 2016, jam 21.41 WIB.
[34]  “Kearifan Lokal Masyarakat Tengger”, http://antariksaarticle.blogspot.co.id/2011/03/kearifan-lokal-masyarakat-suku-tengger.html , diakses 15 April 2016, jam 21.41 WIB.
[35] Robert W. Hefner, The Political Economy on Mountain Java: In Interpretive History, (Barkeley: University California Press, 1990).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Observasi (Makalah)

LAPORAN OBSERVASI “DESA SASAK TANGERANG” Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Agama-Agama Lokal Dosen Pembimbing: Siti Nadroh, MA Kelompok 6: Durotun Nafi’ah             11150321000007 Nadya Alisha Farha       111503210000 38 Taufik                             111503210000 63 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2017 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ....................................................................................................  1 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................  2 1.1   Latar Belakang .......................................................................................  2 1.2   Rumusan Masalah ..................................................................................  2 1.3   Tujuan Kegiatan .....................................................................

agama lokal ( suku minang, kutai, dan gorontalo)

SUKU MINANGKABAU PENDAHULUAN A.     Latar Belakang         Manusia adalah makhluk yang diciptakan tuhan sebagai satu-satunya makhluk yang berbudaya, dimana kebudayaan memiliki pengertian sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan manusia dalam proses belajar (Koentjaraningrat). Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama  Islam  pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut. Adat  Minangkabau  pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangann