Langsung ke konten utama

Responding Paper Suku Sakai (kelompok 4)



Nama Sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia di Riau. Mengenai asal-usul orang Sakai di Riau, ada beberapa pendapat, diantaranya:
·         Suku Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua
·         Orang-orang Sakai berasal dari Pagarrruyung dan Batusangkar
Orang Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi sungai Gasib, di hulu sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad 14.
Nama Sakai diberikan oleh orang luar yang merendahkan suku bangsa itu. Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf, yaitu: Sungai, Kampung, Anak, Ikan. Hal tersebut mencerminkan pola kehidupan mereka di kampung, di tepi hutan, di hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk minum dan mandi.
Salah satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada ‘animisme’, kekuatan magi, dan tenung. Dalam kenyataannya, walaupun mereka telah memeluk agama Islam, tetapi ‘agama asli’ mereka tetap mereka yakini.
Orang Sakai di Muara Basung memeluk agama Islam. Tapi hanya sebagian saja yang benar-benar menjalankan shalat lima waktu dalam sehari dan berpuasa di bulan Ramadhan. Mereka yang taat ini justru kebanyakan dari anak-anak muda.
Adapun inti dari agama nenek moyang mereka adalah kepercayaan pada keberadaan ‘antu’ atau makhluk gaib yang ada di sekitar mereka. Mereka percaya bahwa ‘antu’ juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukimannya (menurut orang Sakai) berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia. Mereka memiliki dunia yang berbeda dengan manusia, tapi menempati wilayah yang juga dihuni manusia. Mereka tinggal di pepohonan, sungai-sungai, rawa-rawa, hutan, ladang, tempat pemukiman, rumah, dan sebagainya. Mereka dapat melihat manusia dan hanya orang-orang tertentu yang dapat berkomunikasi dengan mereka melalui ritual-ritual khusus.
Dalam pandangan orang Sakai, antu memiliki karakter yang sama dengan manusia, akan tetapi antu tidak memiliki karakter baik atau jahat (netral). Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi khusus. Dalam pandangan orang Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari antu-antu tersebut. Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, bahkan mereka campur tangan dalam urusan keluarga yang masih hidup. Karena keduanya tidak dapat berkomunikasi, maka campur tangan tersebut cenderung berujung pada kesialan. Karenanya, orang Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga yang meninggal. Hal ini dilakukan agar arwah tersebut tidak menempel terus dan mencampuri urusan dan kegiatan mereka.
Masyarakat Sakai hidup sevara mengelompok di sekitar hulu sungai atau mata air dan juga di rawa-rawa. Setiap kelompok terdiri dari 2 hingga 5 keluarga batih. Mata pencahariannya adalah bercocok tanam dan berburu. Mereka hidup secara berpindah-pindah dengan sistem tebang-bakar.
Agama orang Sakai memiliki kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan individu dan keluarga, khususnya untuk kesejahteraan hidup. Walaupun terasing, tapi didalam masyarakat telah ada agama-agama besar yang masuk, seperti Kristen dan Islam. Sebagian dari masyarakat Sakai memeluk agama-agama tersebut. Akan tetapi, mereka tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai. Karena itulah, agama orang Sakai bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal. Baik dalam pengertian wilayah, maupun corak kegiatannya yang khusus dan tidak tercakup dalam agama-agama besar. Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan ‘dikir’, yang tidak sama dengan dzikir dalam Islam. Namun, menurut Bosniar dalam kehidupan masyarakat Sakai sekarang banyak yang memakai hukum Islam dalam lembaga waris mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suku Tengger

AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama-Agama Lokal Dosen Pembimbing: Siti Nadroh, MA Kelompok 6: Durotun Nafi’ah             11150321000007 Nadya Alisha Farha       111503210000 38 Taufik                             111503210000 63 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2017 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. atas rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal yang berjudul “ AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER ”. Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Oleh karenanya, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Tidak lupa , kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyu

Laporan Observasi (Makalah)

LAPORAN OBSERVASI “DESA SASAK TANGERANG” Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Agama-Agama Lokal Dosen Pembimbing: Siti Nadroh, MA Kelompok 6: Durotun Nafi’ah             11150321000007 Nadya Alisha Farha       111503210000 38 Taufik                             111503210000 63 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2017 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ....................................................................................................  1 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................  2 1.1   Latar Belakang .......................................................................................  2 1.2   Rumusan Masalah ..................................................................................  2 1.3   Tujuan Kegiatan .....................................................................

agama lokal ( suku minang, kutai, dan gorontalo)

SUKU MINANGKABAU PENDAHULUAN A.     Latar Belakang         Manusia adalah makhluk yang diciptakan tuhan sebagai satu-satunya makhluk yang berbudaya, dimana kebudayaan memiliki pengertian sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan manusia dalam proses belajar (Koentjaraningrat). Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama  Islam  pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut. Adat  Minangkabau  pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangann