Langsung ke konten utama

Responding Paper Suku Tengger (kelompok 6)



Secara geografis, suku Tengger berada di sekitar kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur, Indonesia. Penduduk Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang.
Menurut mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan penga ruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka hidup di sekitar orang Jawa yang telah mengalami banyak perubahan sejak abad ke-19. Setidaknya di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terdapat beberapa data arkeologis yang dapat mengungkapkan kesejarahan orang Tengger.
Kepercayaan masyarakat Tengger:
·         Animisme
Animisme (anima=nyawa, roh), ialah suatu kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan roh atau makhluk halus yang mengelilinginya di rumah, di ladang, di desa, dan tempat lainnya. Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting, roh nenek moyang dari anak cucu yang masih hidup.
·         Konsep tentang Tuhan
Dalam agama Budha Tengger tidak ditemukan adanya suatu konsep tunggal tentang Tuhan dan dewa-dewa. Menurut agama Budha Tengger untuk daerah sekitar Ngadasari, pengertian tentang dewa Trimurti ialah Sang Hyang Betoro Guru, Sang Hyang Betoro Wisnu, dan Sang Hyang Betoro Siwo.
·         Sembahyang dan semedi
Praktek semedi bisa dilakukan di rumah, sanggar pemujaan dan sebagainya. Semedi tidak ada ketentuan tentang hukum kewajiban yang mengandung sanksi. Pelaksanaan semedi lebih menjurus ke arah mengheningkan cipta kepada Gusti Kang Maha Agung, dengan beberapa ketentuan dan bacaan doa. Sebelum melakukan semedi harus mandi keramas terlebih dahulu dengan air air yang sudah diberi mantra, ini dilakukan sebagai bentuk mensucikan diri. Semedi dilakukan pada pagi hari dengan menghadap ke Timur dan sore hari dengan menghadap ke Barat, sedangkan semedi bersama dilakukan di sanggar pemujaan pada bulan purnama tanggal 15 setiap bulan sekali.
·         Konsep alam
Masyarakat Tengger mempercayai alam lain dibalik kehidupan yang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka bertempat di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci. Manusia yang baik, jika ia meninggal rohnya akan masuk surga, sebaliknya jika manusia jahat akan masuk neraka. Bagi roh yang telah disucikan, roh itu dapat melanjutkan perjalanannya menuju surga.
·         Tujuh ajaran tentang kehidupan
Kehidupan masyarakat Tengger dikenal sebagai masyarakat yang teratur dan serasi. Ketaatan masyarakat terhadap ajaran agamanya dikenal dengan tujuh ajaran kehidupan yang biasanya dibacakan saat hari raya Kesodo.
·         Peran dukun dalam masyarakat Tengger:
Seorang dukunTengger merupakan tokoh panutan masyarakat yang mempunyai fungsi spiritual, yaitu memimpin upacara keagamaan atau adat, memimpin upacara perkawinan, kematian dan berbagai keperluan religius lainnya. Sedangkan fungsi sosialnya, seorang dukun berperanan sebagai mediator antara urusan warga masyarakat (selain urusan yang berhubungan dengan pemerintahan). Memang kadang-kadang para dukun juga dimintai tolong oleh warga untuk urusan pengobatan, namun ini di luar fungsi dan tugas utama seorangdukun Tengger. Fungsi utama dukun Tengger ini adalah sebagai pemandu spiritual warga.
Berikut adalah upacara-upacara keagamaan yang dilakukan orang tengger:
1.      Hari Raya Karo
Hari raya Karo atau perayaan Karo terjadi pada bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo). Upacara ini diadakan untuk memohon keselamatan sebagai penghormatan kepada bapak dan ibu, karena mereka merupakan perantara dari Tuhan untuk menyebarkan bibit manusia.
2.      Hari Raya Kasadha
Upacara Kasada (Hari Raya Yadnya Kasada) atau Kasodo yaitu suatu upacara adat suku Tengger yang dilakukan setiap tahun sekali (penanggalan agama Hindu Tengger), yaitu ketika sudah memasuki bulan Kasada, pada hari ke-14. Upacara Yadnya Kasada merupakan pemberian sesajen untuk sesembahan, yaitu Sang Hyang Widhi dan para leluhur suku Tengger (Dewi Roro Anteng dan Joko Seger). Lokasi upacara adat suku Tengger ini digelar di Pura Luhur Poten, tepat di lautan pasir Bromo dan dekat dengan kaki Gunung Bromo. Upacara Adat Yadnya Kasada Suku Tengger atau Hari raya kasada dilakukan pada tengah malam dan selesai pada dini hari. Upacara adat suku Tengger ini bertujuan untuk mengangkat dukun atau tabib yang ada di setiap desa di sekitar Gunung Bromo.
3.      Upacara Unan-Unan
Upacara ini dilakukan dalam lima tahun sekali menurut kalender Tengger. Upacara ini biasa disebut sebagai bersih desa. Upacara ini diperingati dengan tujuan untuk memohon pengampunan untuk arwah para leluhur, memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian yang abadi. Selain itu, upacara ini juga dilakukan dengan tujuan membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan juga membersihkan arwah yang belum sempurna kematian fisiknya. Pengorbanan dalam bentuk kerbau selalu terjadi dalam upacara Unan-unan.
4.      Upacara Entas-Entas
Entas-entas merupakan suatu upacara yang berlangsung selama tiga hari untuk membantu roh orang mati menemukan jalan ke surga.
5.      Upacara Kapat
Upacara ini digelar pada bulan keempat menurut perhitungan Saka dan bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta penyucian terhadap arah mata angin.
6.      Upacara Kawalu
Diselenggarakan pada bulan kedelapan tahun Saka, yang digelar untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan alam semesta.
7.      Upacara Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan di mana masyarakat akan berkeliling desa membawa kentongan dan obor dan sesaji untuk memohon keselamatan.
8.      Upacara Mayu Desa
Upacara ini diselenggarakan untuk melestarikan sumber air dan terhindar dari bencana.
Ada tiga tahap penting dalam siklus usia orang Tengger yaitu:
·         Umur 0 sampal 21 tahun (wanita) dan 27 tahun (pria), dilambangkan sebagai bramacari yaitu masa yang tepat untuk mencari pengetahuan.
·         Usia 21 tahun (wanita) atau 27 tahun (pria) sampai 60 tahun, dilambangkan sebagai griasta, yaitu masa yang tepat untuk membangun sebuah rumah tangga dan hidup mandiri.
·         Usia 60 tahun ke atas, dilambangkan sebagai biksuka, yaitu manusia yang harus lebih mementingkan masa-masa akhir dalam hidupnya.
Kepercayaan mereka terlihat pada unsur  animisme, yakni adanya roh-roh yang memiliki kekuatan  karena itulah mereka membuat berbagai upcara dan sesajian. Kepercayaan masyarakat Tengger diantaranya animisme, konsep tentang tuhan, sembahyang dan semedi dll. Dan Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suku Tengger

AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama-Agama Lokal Dosen Pembimbing: Siti Nadroh, MA Kelompok 6: Durotun Nafi’ah             11150321000007 Nadya Alisha Farha       111503210000 38 Taufik                             111503210000 63 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2017 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. atas rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal yang berjudul “ AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER ”. Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Oleh karenanya, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Tidak lupa , kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyu

Laporan Observasi (Makalah)

LAPORAN OBSERVASI “DESA SASAK TANGERANG” Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Agama-Agama Lokal Dosen Pembimbing: Siti Nadroh, MA Kelompok 6: Durotun Nafi’ah             11150321000007 Nadya Alisha Farha       111503210000 38 Taufik                             111503210000 63 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2017 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ....................................................................................................  1 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................  2 1.1   Latar Belakang .......................................................................................  2 1.2   Rumusan Masalah ..................................................................................  2 1.3   Tujuan Kegiatan .....................................................................

agama lokal ( suku minang, kutai, dan gorontalo)

SUKU MINANGKABAU PENDAHULUAN A.     Latar Belakang         Manusia adalah makhluk yang diciptakan tuhan sebagai satu-satunya makhluk yang berbudaya, dimana kebudayaan memiliki pengertian sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan manusia dalam proses belajar (Koentjaraningrat). Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama  Islam  pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut. Adat  Minangkabau  pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangann