Langsung ke konten utama

agama lokal ( suku minang, kutai, dan gorontalo)

SUKU MINANGKABAU
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang        
Manusia adalah makhluk yang diciptakan tuhan sebagai satu-satunya makhluk yang berbudaya, dimana kebudayaan memiliki pengertian sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan manusia dalam proses belajar (Koentjaraningrat).
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama Islam pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut.
Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah Minangkabau sekarang ini. Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat.
B.     Asal-usul sejarah Minangkabau
                                         Sumber : https://mozaikminang.wordpress.com/2011/11/15/suku-suku-di-minangkabau/

Sejarah bermula pada masa nkerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh penting Minangkabau. Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja, pernah memerintah di Pagaruyuang, daerah pusatkerajaan Minangkabau, selain itu beliau juga orang pertama yang memperkenalkan sistim kerajaan di Sumatera Barat.
Sejak Pemerintah Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke – 17, Propinsi ini lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat.[1]
Agama Islam sebagai nilai baru tersebut berkembang dikalangan masyarakat dan berangsur- angsur mendominasi masyarakat Minangkabau yang sebelumnya didominasi agama Budha. Selain itu sebagian kawasan di Sumatera Barat yaitu pesisir pantai masih berada dibawah kekuasaan kerajaan Pagaruyung, namun kemudian bagian dari kesultanan Aceh.
Melirik sejarah singkat Minangkabau, merupakan salah satu desa yang berada dikawasan Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa tersebut awalnya merupakan tanah lapang. Namun karena adanya isu yang berkembang bahwa kerajan Pagaruyuang akan diserang kerajaan Majapahit dari daerah Jawa maka terjadilah peristiwa adu kerbau atas usul kedua belah pihak. Kerbau terebut mewakili perperangan kedua kerajaan. Karena kerbau Minang berhasil memenangkan perkelahian maka muncul kata manang kabau yang selanjutnya dijadikan nama Nagari atau desa tersebut.
Upaya penduduk setempat mengenang peristiwa bersejarah tersebut, penduduk Pagaruyuang mendirikan rumah loteang ( rangkiang) dimana atapnya berbentuk tanduk kerbau. Menurut sejarah, rumah tersebut didirikan dibatas tempat bertemunya kerajaan Majapahit yang dijamu dengan hormat oleh wanita cantik pagaruyuang. Situasi masyarakat saat itu pada umumnya dengan cara berdagang, bertaniawah, hasil hutan dan mulai berkembang bertambang emas.
Beberapa pertanyaan yang timbul bahwa alat transportasi yang digunakan untuk menelurusi dataran tinggi Minangkabau adalah kerbau. Alasan menggunakan kerbau karena agama yang dipercaya pada waktu itu diajarkan untuk menyayangi binatang gajah, kerbau dan lembu. Karena ajaran tersebut menreka menggunakan kerbau sebagai masyarakat dengan adu kerbau. Bukti arkeolog mengatakan bahwa daerah kawasan Minangkabau yaitu Lima Puluh Koto merupakan daerah yang dihuni untuk pertama kali oleh nenek moyang orang Sumatera diperkirakan berlayar melalui rute ini dan sebagian menetap dan mengembangkan peradaban disekitar Lima Puluh Koto tersebut.
Terbukanya Propinsi Sumatera Barat terhadap dunia luar menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang oleh bercampurnya para pendatang. Jumlah pertumbuhan penduduk ke berbagai lokasi Sumatera Barat. Sebagian menyebar ke selatan dan sebagian kebagian barat Sumatera. Jatuhnya kerajaan Pagaruyuang dan terlibatnya negara Belanda di Perang Padri, menjadikan daerah pedalaman Minangkabau menjadi bagian dari Pax Nerderlandica oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian daerah Miangkabau dibagi menjadi Residentie Padangsche Bovenlanden serta Benedenlanden.[2]
Pada zaman VOC, Hoofdcomptoir van Sumatra’s westkust merupakan sebutan untuk wilayah pesisir barat Sumatera. Hingga abad ke – 18, Propinsi Sumatera Barat semakin terkena pengaruh politik dan ekonomi akhirnya kawasan ini mencangkup daerah pantai barat Sumatera. Kemudian mengikuti perkembangan administratif pemerintah Belanda, kawasan ini masuk dalam pemerintahan Sumatra’s Westkust dan di ekspansi lagi mengabungkan Singkil dan Tapanuli.
Selanjutnya masa pendudukan Jepang dikawasan ini, Residen Sumatra’s Westkust berganti nama dengan bahasa Jepang yaitu Sumatoro Nishi Kaigan Shu kemudian digabung kewilayah Rhio Shu. Sampai awal kemerdekaan negara Republik Indonesia 1945, daerah Sumatera Barat digabungkan dengan Propinsi Sumatera Barat yang berdomisili di Bukittinggi. Tahun 1949 Propinsi Sumatera mengalami perpecahan menjadi 3 kawasan, yakni Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sumatera Tengah yang mencangkup Sumatera Barat, Jambi dan Riau.[3]
-          Wilayah , Suku dan Bahasa yang digunakan Sumatera Barat
           Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEie9D1mFJoo2wNl9E72J-H5in49KFhjNdw-VND982z3aahTOkQpYcjZRzxfeeFhu7i98Fi1OSfJRsCsKVuBDGqyM2oeMKgkVhKhoFmB7cofAcdk0QMXZjE7yFIGD915bg-5LdAlR0tLAuVy/s1600/sumbar.jpg

Penduduk Sumatera Barat dihuni oleh mayoritas oleh suku Minangkabau. Selain suku Minang, diwilayah Pasan dihuni oleh Suku Mandailing dan suku Batak. Awal munculnya penduduk suku tersebut pada abad ke 18 masa Perang Paderi. Daerah Padang Gelugur, Luang Silaut dan Sitiung yang merupakan daerah transmigasi terdapat juga suku Jawa. Sebagian di daerah tersebut terdapat penduduk Imigran keturunan Suriname yang kembali memilih pulang ke Indonesia pada akhir 1950 an. Para imigran tersebut ditepatkan di daerah Sitiung. Mayoritas penduduk suku Mentawai juga berdomisili di kepulauan Mentawai dan sangat jarang di temui penduduk suku Minangkabau. Beberapa suku lainnya seperti etnis Tionghoa memilih menetap di Kota – kota besar seperti Bukittinggi, Padang dan Payakumbuh. Suku Nias dan Tamil sendiri berada di daerah Pariaman dan Padang walaupun dalam jumlah yang sedikit.[4]

C.    Mitologi Asal-usul Nama Minangkabau
                                                                 Sumber :  http://dokumen.tips/documents/minang.html

Perkataan Minangkabau merupakan gabungan dua perkataan, yaitu, minang yang bermaksud “menang” dan kabau untuk “kerbau”. Menurut lagenda, nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang Pangeran  Raja dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Sumatera (Minangkabau). Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, maka rakyat Minangkabau yang dikenal akan kecerdikannya menganjurkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Pangeran Jawa tersebut setuju dan memamerkan seekor kerbau yang besar dan ganas. Rakyat setempat pula hanya memamerkan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan tanduk yang telah ditajamkan. Sehingga membuat Pangeran Jawa tertawa terpingkal-pingkal. Pada saat di adu, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja menyeruduk tanduknya di perut kerbau itu karena ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar perutnya. Kerbau yang ganas itu pun mati dan rakyat minangkabau menyelesaikan perebutan tanah minangkabau dengan cara yang aman.[5]

D.    Sosial kemasyarakatan
Persukuan
                                 Sumber :  http://balailamo.blogspot.co.id/2015/08/awal-mula-suku-di-nagari-sulit-air.html

Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuahparuik (perut) biasanya tinggal pada sebuah Rumah Gadang secara bersama-sama.

Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. 
Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.

E.     Sistem Kepemerintahan
Sebagaimana diketahui bahwa pembagian sistem pemerintahan yang ditetapkan oleh dua orang datuk yang bernama Datuk Ketamnggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang, terdiri dari dua kelarasan yang dikenal dengan sebutan Lareh nan Duo, yaitu : Bodi dan Chaniago. Koto dan Piliang.  Kemudian dalam perjalanannya muncul sistem kelarasan yang dikenal dengan kelarasan nan panjang.
Menururut Drs, Mid Jamal dalam buku Menyigi Tambo Alam Minangkabau, bahwa ” Lareh ” atau Laras artinya ” jatuh”. Lareh ini dikiaskan sebagai pola pikiran yang jatuh dan tercipta dari Dua orang Datuk itu. Dua orang datuk ini bersaudara seibu dan berlainan ayah. ( Simak tersendiri siapakah kedua orang datuk ini, yang mana kisah kedua orang ini terdapat dalam berbagai macam versi- pen).
Kami menganalogikan bahwa pembentukan sistem kelarasan ini tidak jauh berbeda dengan proses norma-norma sebagai yang kita kenal didalam teori ilmu hukum. Lareh tidak lain dari pemberlakukan tata aturan bermasyarakat. Tata aturan yang harus disepakati oleh masyarakat itu menciptakan kesejahteraan, keadilan kemakmuran bagai masyarakat.
Awal perkembangan masyarakat itu,  ada di Nagari Pariangan, sebagai negeri tertua pada masa kehidupan nenek moyang minangkabau, yang bernama ” datuk Sri Maharaja diraja ” (demikian penamaan yang diberikan kepadanya oleh si Tukang Kaba – pen). Kelompok masyarakat yang berasal dari Nagari Pariangan itu meluas hingga Padangpanjang. Kemudian kita kenal pula Luhak nan Tigo.
Mengapa dusun tua itu disebut ” pariangan ” – adalah perumpaan tempat pengembalian roh sesudah mati atau tempat asal mulanya Dapunta Hyang. Demikian menurut uraian Drs. Mid Djamal dalam buku ” menyigi Tambo Alam Minangkabau. Berbeda halnya dengan Datuk Sangguno dirajo, yang menguraikan bahwa ” Nageri Pariangan “ ini adalah suatu negeri yang aman dan makmur dimana masyarakatnya bergembira dan ber – riang-riang.
Jika ditelisik pencitraan nenek moyang itu, maka semakin banyak isi tambo yang berbeda  beda satu sama lainnya.
Dimata penulis, hanya ada satu penamaan yang sama tentang pencipta dua kelarasan ini, yaitu Datuk Ketamanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang. Mengapa dua orang datuk ini menciptakan sistem kelarasan ini. Apa manfaatnya bagi masyarakat kala. Beberapa alasan yang dapat kita simpulkan adanya sistem kelarasan ini sebagai sistem kemasyarakatan, adalah :

1.      Tidak ada satu kesepakatan yang diproleh dari kedua orang datuk itu ketika menyelesaikan problema kemasyarakat dan suku – suku yang sudah mengalami perkembangan kala itu.

2.      Berangkat dari tambo yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, maka Datuak Katemanggungan mengembangkan sistem hukum  (lareh) Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang mengembangkan lareh Bodi Caniago.

Lareh Koto Piliang lebih bercirikan “aristokratis”, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal, sesuai dengan pepatahnya manitiak dari ateh (menetes adri atas). Sementara Lareh Bodi Caniago bercirikan “demokratis” dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sesuai dengan pepatahnya mambusuik dari bumi (muncul dari bawah).
Secara struktural, ajaran kedua Lareh ini lah yang akhirnya mempengaruhi (constrains) pola kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau di kemudian hari. Perbedan-perbedaan sering menjadi pemicu  persaingan dan pertentangan diantara kedua datuak ini dalam memimpin Minangkabau pada waktu itu.
Sebagaiman di uraikan dalam buku yang ditulis oleh Dobbin, 1983 dan Djamaris, 1991, Ketika ayah dan ibu mereka (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) meninggal dunia, terjadilah konflik di Limo Kaum. Masyarakat Minangkabau kuno kala itu terbelah dalam dua sistem kemasyarakatan dan disisi lain juga akhirnya membelah wilayah Minangkabau kedalam dua aliran tersebut, yang dikenal dengan istilah luhak (Batuah, 1966).  Secara struktural, dua lareh yang diciptakan duo datuak ini lah yang kemudian menjadi landasan dasar kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau, sampai sekarang ini (Maarif, 1996).
Perbedaan antara dua lareh ini menimbulkan persaingan satu sama lain. Bahkan menurut Christine Dobbin, persaingan tersebut telah terjadi sejak dua Datuak-Datuak Katamenggungan dan Datuak Prapatiah nan Sabatang — mencetuskan adat lareh itu sendiri. Dimana letak kedua Kelarasan itu.  Ini ditandai dengan persaingan antara desa Lima Kaum yang menganut adat lareh Bodi Caniago dengan desa Sungai Tarab yang menganut adat lareh Koto Piliang, yang digambarkan Dobbin sampai terjadi “perang batu” dan “perang bedil”.
Laras (lareh) adalah dasar pemerintahan menurut Minangkabau kuno. Kemudian menjadi sistem hukum adat yang berlaku diseluruh alam minangkabau. Ada dua kelarasan di Minangkabau, yaitu Kelarasan Bodi Caniago dan Kelarasan Koto Piliang.[6]

F.     Budaya Minangkabau

1. Pakaian Adat Suku Minangkabau
                               Sumber :  http://nasbahrygallery1.blogspot.co.id/2011/10/pakaian-adat-lambak-ampek.html
  • Pakaian Bundo Kanduang atau Limpapeh Rumah Nan Gadang Yang pertama adalah Pakaian Limpapeh Rumah Nan Gadang atau sering pula disebut pakaian Bundo Kanduang. Pakaian ini merupakan lambang kebesaran bagi para wanita yang telah menikah. Pakaian tersebut merupakan simbol dari pentingnya peran seorang ibu dalam sebuah keluarga. Limapeh sendiri artinya adalah tiang tengah dari bangunan rumah adat Sumatera Barat. Peran limapeh dalam mengokohtegakan bangunan adalah analogi dari peran ibu dalam sebuah keluarga. Jika limapeh rubuh, maka rumah atau suatu bangunan juga akan rubuh, begitupun jika seorang ibu atau wanita tidak pandai mengatur rumah tangga, maka keluarganya juga tak akan bertahan lama. Secara umum, pakaian adat Bundo Kanduang atau Limpapeh Rumah Nan Gadang memiliki desain yang berbeda-beda dari setiap nagari atau sub suku. Akan tetapi, beberapa kelengkapan khusus yang pasti ada dalam jenis-jenis pakaian tersebut. Perlengkapan ini antara lain tingkuluak (tengkuluk), baju batabue, minsie, lambak atau sarung, salempang, dukuah (kalung), galang (gelang), dan beberapa aksesoris lainnya.

                                                 Sumber :  https://bumiacuk.wordpress.com/author/acukbumi/page/6/

  • Baju Tradisional Pria Minangkabau Pakaian adat Sumatera Barat untuk para pria bernama pakaian penghulu. Sesuai namanya, pakaian ini hanya digunakan oleh tetua adat atau orang tertentu, dimana dalam cara pemakaiannya pun di atur sedemikian rupa oleh hukum adat. Pakaian ini terdiri atas beberapa kelengkapan yang di antaranya Deta, baju hitam, sarawa, sesamping, cawek, sandang, keris, dan tungkek.

                                                      Sumber :  https://minangtourism.com/pakaian-adat-minangkabau/

  • Pakaian Adat Pengantin Padang Selain baju bundo kanduang dan baju penghulu, ada pula jenis pakaian adat Sumatera Barat lainnya yang umum dikenakan oleh para pengantin dalam upacara pernikahan. Pakaian pengantin ini lazimnya berwarna merah dengan tutup kepala dan hiasan yang lebih banyak. Hingga kini, pakaian tersebut masih kerap digunakan tapi tentunya dengan sedikit tambahan modernisasi dengan gaya atau desain yang lebih unik.
2. Rumah Adat Suku Minang Kabau
              Sumber :  http://rumahadatdiindonesia.blogspot.co.id/2014/01/rumah-adat-minangkabau-padang-sumatra.html

Rumah Gadang adalah rumah adat suku Minangkabau yang juga memiliki sebutan lain seperti rumah Godang, rumah Bagonjong, dan rumah Baanjuang. Rumah adat ini merupakan rumah model panggung yang berukuran besar dengan bentuk persegi panjang. Sama seperti rumah adat Indonesia lainnya, rumah gadang juga dibuat dari material yang berasal dari alam. Tiang penyangga, dinding, dan lantai terbuat dari papan kayu dan bambu, sementara atapnya yang berbentuk seperti tanduk kerbau terbuat dari ijuk. Meski terbuat dari hampir 100% bahan alam, arsitektur rumah gadang tetaplah memiliki desain yang kuat.
Rumah ini memiliki desain tahan gempa sesuai dengan kondisi geografis Sumatera Barat yang memang terletak di daerah rawan gempa. Desain tahan gempa pada rumah gadang salah satunya ditemukan pada tiangnya yang tidak menancap ke tanah. Tiang rumah adat Sumatera barat ini justru menumpang atau bertumpu pada batu-batu datar di atas tanah. Dengan desain ini, getaran tidak akan mengakibatkan rumah rubuh saat terjadi gempa berskala besar sekalipun. Selain itu, setiap pertemuan antara tiang dan kaso besar pada rumah adat ini tidak disatukan menggunakan paku, melainkan menggunakan pasak yang terbuat dari kayu. Dengan sistem sambungan ini, rumah gadang akan dapat bergerak secara fleksibel meski diguncang dengan getaran gempa yang kuat.
3. Seni Tari Suku Minang Kabau
Hasil gambar untuk tari pencak minang
                                              Sumber : http://www.kabaranah.com/2014/12/pencak-silat-minangkabau.html
  • Tarian pencak berbeda dengan pencak dan silat. Pencak silat dilakukan oleh dua orang dengan gaya silat. Secara pisik dalam pencak, permainannya dapat bersinggungan atau bersentuhan. Tetapi, di dalam tarian, pemain tigak bersinggungan atau bersentuhan. Tarian ini diikuti oleh bunyi-bunyian seperti talempong dan pupuik batang padi. Gerakannya tidak harus mengikuti irama dan bunyi-bunyian. Bunyi-bunyian itu hanyalah sekedar pengiring belaka. Gerakan tarian pencak ini disesuaikn dengan gerak lawan. Bagaimana lawan memainkan gerakan, seperti itu pula gerakan yang satunya. Ada 3 jenis tarian pencak yaitu sebagai berikut : Tari Sewah, Tari Alo Ambek, dan Tari Galombang.
  • Ragam Gerak Tari Tradisional Minangkabau
  •                              

    Sumber : http://www.kabaranah.com/2016/01/ragam-gerak-tari-tradisional-minangkabau.html
  • Tarian perintang yaitu tarian yang dimainkan pemuda-pemuda untuk perintang waktu. Tarian dapat dilakukan bersama-sama atau seorang diri. Tarian diiringi bunyi-bunyian seperti talempong, gendang, dan puput batang padi. Tarian dilakukan dengan bebas dengan irama 4/4 tanpa terikat dengan bunyi-bunyian yang mengiringinya. Setiap penari bebas melakukan gerakan sesuai kemahirannya. Akan tetapi ada gerakan yang telah terpola seperti menirukan gerak tupai, elang terbang, kebaru mengamuk, dan sebagainya. Tarian ini dimainkan di sawah pada musim panen atau pada acara-acara keramaian lainnya. Antara lain tari piring, tari galuak, dan tari kerbau jalang.
  • Tarian kaba adalah tarian yang mengangkat tema cerita (kaba). Tarian ini mengutamakan nyanyian daripada gerak tari. Penari menyanyikan cerita kaba sambil menari. Pengungkapan cerita kaba dengan nyanyian lebih diutamakan daripada gerak tarinya. Jadi, tari hanya sebagai pembawa kaba belaka. Tarian biasanya juga diikuti oleh musik pengiring seperti talempong dan adok. Jenis tarian ini tergantung kepada cerita kaba yang dibawakan.
3. Alat Musik Khas Suku Minangkabau
                                
                       Sumber : http://www.pelangiholiday.com/2014/05/alat-musik-tambua-dari-sumatera-barat.html
  • Talempong Salah satu alat musik tradisional minangkabau adalah talempong. Alat musik pukul ini terbuat dari kuningan, berbentuk bulat dengan bagian bawah berlubang dan pada bagian atasnya ada sedikit tonjolan. Talempong sering digunakan sebagai alat musik untuk mengiringi berbagai kesenian tradisional minangkabau seperti tarian atau musik.
  • Saluang termasuk alat musik tiup. Alat musik tradisional minangkabau ini terbuang dari ‘talang’ yang merupakan sejenis bambu tapi lebih tipis. Talang dengan ukuran yang lebih besar juga digunakan sebagai wadah untuk memasak makanan khas minangkabau yaitu Lamang.  Alat musik tradsiional minangkabau yang satu ini memiliki panjang 40-60 sentimeter dengan 4 buah lubang dengan diameter masing-masing lubang 3-4 sentimeter. Untuk memainkan Saluang tidaklah mudah, dibutuhkan teknik khusus yang dinamakan dengan ‘manyisiahan angok’ (menyisakan nafas). Dengan teknik ini pemain saluang bisa meniup saluang dari awal sampai akhir lagu tanpa nafas yang terputus.
  • Rabab adalah alat musik tradisional minangkabau yang mirip dengan biola. Dikatakan mirip karena dari segi bentuk memang hampir sama dan cara memainkannya pun sama yaitu dengan digesek. Rabab selain menjadi alat musik juga menjadi kesenian tersendiri. Kesenian rabab biasanya berbentuk cerita atau dendang dengan diiringi alat musik rabab tadi. Dua aliran rabab yang cukup terkenal adalah Rabab Pasisia dan Rabab Pariaman.
  • Pupuik Batang Padi, Seperti namanya alat musik tiup ini memang terbuat dari batang padi. Pada bagian ujung tempat tiupan biasanya dipecah sedikit sehingga menimbulkan celah, jika ditiup celah ini akan mengelurkan bunyi. Biasanya pupuik batang padi ditambah dengan lilitan daun kelapa pada ujungnya.
  • Bansi adalah salah satu alat musik tiup tradisional minangkabau. Bansi memiliki 7 lubang, mirip dengan rekorder, bentuknya pendek, biasanya berukuran 33-36 sentimeter.
  • Pupuik Tanduak, Alat musik tradisional minangkabau yang satu ini cukup unik karena dibuat dari bekas tanduk kerbau. Meskipun termasuk alat musik tapi pupuik tanduak sangat jarang dimainkan sebagai pengiring musik, fungsinya lebih kepada alat pemanggil atau pemberitahu jika ada pengumuman dari pemuka adat.
  • Sarunai, Konon kata Sarunai berasal dari kata Shehnai yaitu alat musik yang berasal dari India. Sarunai terbuat dari dua potong bambu yang tidak sama besar, potongan yang kecil dapat masuk ke potongan yang lebih besar, dengan fungsi sebagai penghasil nada
  • Tambua Tasa adalah alat musik pukul yang sampai saat ini masih sering digunakan, terutama pada saat acara adat. Alat musik ini terdiri dari dua alat yaitu Gandang Tambua dan Gandang Tasa. Gandang Tambua berbentuk tabung dengan bahan kayu dengan dua permukaan kulit. Gandang Tambua dimainkan dengan cara disandang pada salah satu bahu oleh pemain dalam posisi berdiri dengan menggunakan dua buah kayu sebagai pemukul. Sedangkan Gandang Tasa lebih mirip setengah bola yang hanya memiliki satu sisi kulit (single headed drum). Kayu untuk memukul Gandang Tasa biasanya lebih ramping, lentur dan berukuran lebih panjang.[7]
G.    Sistem religi atau keagamaan di Minangkabau
Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu–Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah perang Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, disamping surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.[8]
H.    Ritual Suku Minangkabau
Sebagian besar masyarakat Minangkabau beragama Islam. Masyarakat desa percaya dengan hantu, seperti kuntilanak, perempuan menghirup ubun-ubun bayi dari jauh, dan menggasing (santet), yaitu menghantarkan racun melalui udara. Upacara-upacara adat di Minangkabau meliputi :
1.      Upacara Tabuik
Tabuik (Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnyaImam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantaiSumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol. Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot.
Upacara melabuhkan tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak1831. Upacara ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di Sumatera bagian barat.
2.      Makan Bajamba
Makan bajamba atau juga disebut makan barapak adalah tradisi makan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara duduk bersama-sama di dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan. Tradisi ini umumnya dilangsungkan di hari-hari besar agama Islam dan dalam berbagai upacara adat, pesta adat, dan pertemuan penting lainnya. Secara harafiah makan bajambamengandung makna yang sangat dalam, dimana tradisi makan bersama ini akan memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial.
3.      Turun mandi
Upacara turun mandi adalah upacara yang sangat mendarah daging di Ranah Minang sampai saat ini . upacara turun mandi adaah upacara ucapan rasa syukur kepada Allah SWT . Upacara turun mandi adalah ritual untuk mensyukuri nikmat Allah berupa bayi yang baru lahir. Upacara ini merupakan sunnah Rasul dan memperkenalkan kepada masyarakat bahwa telah lahir keturunan baru dari sebuah suku atau keluarga tertentu. Dalam upacara ini harus memperhatikan syarat-syarat yang telah kental di masyarakat Minangkabau. 
4.      Batagak pengulu
Batagak penghulu adalah upacara pengangkatan penghulu. Sebelum acara peresmian calon penghulu harus menjalani syarat-syaratnya yaitu Baniah, Dituah Cilakoi, Panyarahan Baniah, Manakok hari. Upacara pengangkatan Penghulu dilakukan dengan cara adat. Upacara ini diberi nama Malewakan Gala. Di hari pertama adalah berpidato, lalu penghulu tertua memasangkan deta dan menyisipkan sebilak keris sebagai tanda serah terima jabatan, akhirnya penghulu baru diambil sumpahnya.
5.      Pacu Jawi
Pacu jawi atau pacu sapi adalah sebuah atraksi permainan tradisional yang dilombakan di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Setiap tahun lomba balap sapi ini diselanggarakan secara bergiliran selama empat minggu di empat kecamatan di Kabupaten Tanah Datar. Pacu jawi telah ada ratusan tahun tang lalu yang awalnya dilakukan para petani setelah musim panen.
6.      Pacu Itiak
Pacu itiak atau dalam bahasa Indonesianya pacu bebek (duck race) ini adalah salah satu event anak nagari yang bisa dibilang event satu-satunya didunia yang turun temurun sejak tahun 1928.[9]


REFERENSI


Koentjaraningrat, “Pengantar ilmu Antrologi”, ( Jakarta : juni 1996 ).
Zulyani Hidayah. “ Ensiklopedi suku bangsa di indonesia”, Jakarta,
http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaan-minangkabau.html Diakses pukul : 12: 38 01 Juni 2017.
M.S, Amir.2006.Adat Minangkabau.Jakarta:PT. Mutiara Sumber Widya





[1] Koentjaraningrat, “Pengantar ilmu Antrologi”, ( Jakarta : juni 1996 ). Hlm 72
[2] Zulyani Hidayah. “ Ensiklopedi suku bangsa di indonesia”, Jakarta, hlm 188
[3] Koentjaraningrat, “Pengantar ilmu Antrologi”, ( Jakarta : juni 1996 ). Hlm 78
[4]  http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaan-minangkabau.html Diakses pukul : 12: 38 01 Juni 2017.
[5] Koentjaraningrat.1999.Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia.Jakarta: Djambatan. Hal 88
[6]  http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaan-minangkabau.html Diakses pukul : 12: 42 26 Juni 2013.
[7] M.S, Amir.2006.Adat Minangkabau.Jakarta:PT. Mutiara Sumber Widya hal 143
[8] M.S, Amir.2006.Adat Minangkabau.Jakarta:PT. Mutiara Sumber Widya Hal 177
[9] Koentjaraningrat.1999.Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia.Jakarta: Djambatan Hal 156
SUKU KUTAI
Peta Wilayah Kabipaten Kutai Kartanegara
A.  Asal Usul Suku Kutai
Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah 27.263,10 km² dan luas perairan sekitar 4.097 km² yang dibagi dalam 18 wilayah kecamatan dan 225 desa/kelurahan dengan jumlah penduduk mencapai 626.286 jiwa (sensus 2010).
Suku atau orang Kutai umumnya berdiam di daerah Provinsi Kalimantan Timur. Sebenarnya pada zaman dulu orang Kutai juga tergolong ke dalam kelompok masyarakat Dayak. Diperkirakan masih satu asal dengan orang Tunjung. Pada masa sekarang mereka dibedakan dengan orang-orang Dayak lain karena umumnya memeluk agama Islam. Mereka sering disebut ‘Halok atau Halo’ untuk membedakannya dengan orang Dayak yang belum memeluk agama Islam. Pada zaman dulu mereka sempat memiliki kesultanan yang cukup kuat di wilayah Kalimantan bagian timur itu. 
Orang Kutai berasal dari keturunan ras proto Melayu yang sampai ke Kalimantan Timur sekitar 3.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya mereka telah banyak mengalami pengaruh-pengaruh dari peradaban luar seperti Hindu yang dibawa oleh pendatang dari Pulau Jawa, kemudian oleh Islam yang dibawa oleh pendatang dari suku Bugis. Masyarakat ini terdiri atas beberapa sub-suku bangsa yang  mereka sebut puak. Jumlah populasi suku bangsa ini diperkirakan sekitar 400.000 jiwa orang, termasuk orang Kutai yang berdiam di wilayah lainnya di Kalimantan Timur, seperti daerah Pasir, Berau dan Bulungan.
Orang Kutai menggunakan bahasa Melayu, yang terbagi lagi atas beberapa dialek, yaitu Kutai Tenggarong yang mendiami daerah-daerah Tenggarong, Kutai Lama, Muara Kaman, Muara Pahu, Melak, Long Iram, Kutai Bangun yang berdiam di daerah-daerah Kota Bangun, Muara Muntai, Kembang Janggut, Long Beleh, Sebulu, Penyinggahan, Kutai Muara Ancalong yang berdiam di daerah-daerah Muara Ancalong, Kelinjau, Sebintulung, Kutai yang berdiam di daerah Muara Pahu bagian hulu sungai. Orang Kutai hidup berdampingan dengan suku bangsa bugis, Banjar, Jawa, Benuaq, Bahau, Long Dusun, Kenyah, Tunjung, Punan, Bentian, Penihing, Ohong, Bukat dan Basap.
Di Kutai pernah berdiri sebuah kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Peninggalan sejarah yang berasal dari abad ke-4 itu dibuktikan oleh adanya tujuh prasasti yang disebut yupa bertuliskan huruf Palawa di daerah Muara Kaman sekarang. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi untuk menambatkan hewan korban dalam upacara dalam agama Hindu. Bahasa yang digunakan pada prasasti itu adalah bahasa Sansekerta. Kini tulisan itu semakin kabur dan keadaannya sudah berbeda dengan ketika prasasti itu ditemukan. Sejarah Kutai baru muncul lagi setelah masa Islam, ditandai dengan berdirinya Kesultanan Kutai setelah abad ke-16. Pemerintahan Kesultanan berakhir ditangan Aji Muhammad Parikesit (1920-1960). Sampai dengan tahun 1959 daerah Kutai masih menyandang nama "daerah istimewa". Sekarang statusnya telah disamakan sebagai sebuah Kabupaten. Bekas istana Sultan Kutai masih berdiri di Tenggarong dan telah dijadikan Museum Negeri Kalimantan Timur.
Kesultanan Kutai pernah mengembangkan suatu tradisi penobatan raja yang disebut Erau. Nama upacara ini berasal dari kata eroh yang berarti "ramai", hal ini berkaitan dengan keriuhan suasana pada waktu penobatan raja berlangsung. Walaupun kesultanan itu sudah tidak ada lagi, tetapi tradisi Erau masih dilakukan oleh keturunan bangsawan Kutai dengan mengalihkannya menjadi Festival kebudayaan rakyat Kutai, sekaligus perayaan hari jadi Tenggarong.
B.  Mata Pencaharian Suku Kutai
Orang Kutai hidup dari pertanian lahan kering, yaitu perladangan di lahan yang masih cukup luas. Di samping itu diantara mereka juga ada yang menjadi nelayan, menangkap ikan di danau, sungai, rawa, dan tambak. Hasil pertaniannya menghasilkan padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan sayur-mayur lainnya. Hutannya yang luas menghasilkan macam-macam kayu kering yang berharga dijual, seperti kayu meranti, kruing, kayu kapur, kayu bangkirai. Kini berkembang pula industri pengolahan kayu. Orang Kutai yang berdiam di kota yang bergerak di bidang jasa, menjadi buruh, dan pegawai.
C. Kekerabatan Dalam Suku Kutai
Sistem hubungan kekerabatan masyarakat Kutai bersifat patrilineal, artinya garis keturunan ditarik ke pihak laki-laki. Pada masa lalu mereka juga mengenal pelapisan sosial, yang terdiri atas bangsawan, rakyat kebanyakan, dan hamba sahaya. Sisa kaum bangsawan Kutai terlihat dari gelar yang mereka pakai, seperti Kiamas, Mas, Aji, Raden, Pangeran Datu. Sekarang penghormatan terhadap seseorang dalam masyarakat Kutai bukan lagi atas dasar bangsawan, akan tetapi atas tinggi pendidikan yang diperoleh, status dalam pemerintahan dan kekayaan.
D. Kesenian Dalam Suku Kutai
1.      Seni Arsitektur
Sumber : https://twitter.com/angtekkhun/status/687053253721198592 
Rumah tradisional suku kutai sama dengan rumah tradisional suku dayak yang di kenal dengan sebutan lamin. Bentuk rumah adat lamin dari tiap suku umum nya tidak jauh berbeda. Lamin biasanya di dirikan menghadap ke arah sungai. Dengan bentuk dasar bangunan berupa empat persegi panjang. Panjang lamin ada yang mencapai 200 meter dengan lebar antara 20 hingga 25 meter.[1] Di halaman sekitar lamin terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung persembahan nenek moyang. Lamin berbentuk rumah panggung (memiliki kolong) dengan menggunakan atap berbentuk pelana. Tinggi kolong ada yang mencapai 4 meter. Untuk naik ke atas lamin, di gunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang di susun membentuk undakan dan tangga ini bisa di pindah-pindah atau di naik turun kan. Kesemua ini adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman musuh ataupun binatang buas.
Pada awalnya, Lamin di huni oleh banyak keluarga yang mendiami bilik-bilik di dalam lamin. Namun kebiasaan itu sudah mulai memudar di masa sekarang. Bagian depan lamin merupakan sebuah serambi panjang yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara perkawinan, melahirkan, kematian, pesta panen danlain-lain. Di belakang serambi ini lah terdapat  deretan bilik-bilik besar dimana setiap bilik di huni oleh 5 kepala keluarga.
2.      Seni Drama
Mamanda merupakan salah satu kesenian drama tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat kutai. Istilah mamanda berasal dari kata pamanda / paman. Kata tersebu dalam suatu lakon merupakan panggilan raja yang ditujukan kepada mentei. Wajir atau mangkubuminya dengan sebutan pamanda menteri, pamanda wajir dan pamanda mangkuumi. Karna seringnya kata pamanda diucapakan dalam setiap pementasan, maka istilah tersebut menjadi julukan bagi pertunjukan itu sendiri. Mamanda merupakan salah satu jenis hiburan yang disenangi masyarakat. Mamanda sering di sejajarkan dengan seni ketoprak dan ludruk di jawa. Jika jalan crita yang disajikan dalam mamanda adalah tentang sebuah kerajaan, maka pementasan mamanda tersebut mirip dengan ketoprak. Kesenian ini sudahjarang di pentaskan secara terbuka. Namun pada festival Erau di kota tenggarong, kesenian mamanda sering dipertunjukkan secara terbuka untuk mengisi salah satu mata acara hiburan rakyat.[2]
3.      Seni Kriya (Kerajinan Tangan)
pesta kal
Sumber : http://ptpnxiii.blogspot.co.id/2013/03/
·      Perisai atau Kelembit
Merupakan alat penangkis dalam peperangan melawan musuh, perisai terbuat dari kayu yang ringan tapi tidak mudah pecah. Bagian depan perisai dihiasi dengan ukiran, namun sekarang ini kebanyakan dihiasi dengan lukisan yang menggunakan warna hitam putih atau merah putih. Motif yang digunakan untuk menghiasi perisai terdiri dari tiga motif dasar yaitu :
-          Motif burung enggang ( kalung Tebengaang)
-          Motif naga/anjing (kalung asa)
-          Motif Topeng(kalung udo)
Selain sebagai alat pelindung diri dari serangan musuh, perisai juga berfungsi sebagai :
-          Alat penolong sewaktu kebakaran
-          Perlengkapan menari dalam tari perang
-          Alat untuk melerai perkelahian
-          Perlengkapan untuk upacara belian
-          Ulap doyo
Kain dari serat daun doyo ini merupakan hasil kerajinan yang hanya dibuat oleh wanita-wanita suku dayak benuaq yang tinggal di tanjung isuy. Tanaman doyo ini menyerupai pandan tumbuh dengan subur di tanah isuy. Serat daunnya kuat dan dapat dijadikan benanguntuk ditenun. Tenunan doyo ini kemudian sering diolah menjadi pakaian, kopiah atau hiasan dinding.
-          Anjat
Alat berbentuk seperti tas yang terbuat dari anyaman rotan dan memiliki dua atau tiga sangkutan. Anjat biasanya digunakan untuk menaruh barang-barang bawaan ketika bepergian.
-          Bening aban
Alat untuk memanggul anak yang hanya terdapat pada suku dayak kenyah. Alat ini terbuat dari kayu yang biasanya dihiasi dengan ukiran atau dilapisi dengan sulaman manik-manik serta uang logam.[3]
4.      Seni Musik
Pameran5
Sumber : http://ptpnxiii.blogspot.co.id/2013/03/
Seni musik kutai banyak dipengaruhi oleh kebudayaan melayu dan islam. Salah satu seni musik kutai yang terkenal adalah musik Tingkilan. Seni musik khas Kutai ini memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun melayu. Alat musik yang digunakan adalah gambus (sejenis gitar berdawai 6), ketipung (semacam kendang kecil), kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar) dan biola. Musik tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu sering dibawakan oleh dua orang penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling memuji, atau bahkan saling menyindir atau mengejek dengan kata-kata yang lucu. Musik tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat kutai, yakni Tari Jepen.
5.      Seni Tari
Selain Tarian Dewa Memanah dalam Ritual Bepelas ada Juga Tarian GANJUR 
Tarian ini bermaksud untuk meminta restu kepada Sangyang Sri Gamboh dan Pangeran Sri Ganjur.

Penari memasang Ikat kepala dan memegang Gada sambil menari menempati 4 sudut berputar di iringi oleh Gamelan alunan irama Ganjur.

Mengenal Alam mencintai seni buday nusantara 
Jejak budaya 
Photo @faisal 
#Jejakbudaya
#JB2 
#ayokekukar
#cintakukar 
#cintaIndonesia 
#budaya 
#kampanyebudaya 
#exploringerau 
#ERAU2015
#indonesiamenulis #indonesiamenyapa
Sumber : http://www.imgrum.org/user/jejak_budaya/2108001327/1010474589271408953_2108001327
·           Seni Tari Rakyat
Merupakan kreasi artistik yang timbul ditengah-tengah masyarakat umum. Gerakan tarian rakyat ini menggabungkan unsur-unsur tarian yang ada pada tarian suku yang mendiami daerah pantai.
·         Tari Jepen
Jepen adalah kesenian rakyat kutai yang dipengaruhi olehkebudayaan melayu dan islam. Kesenian ini sangat populer dikalangan rakyat yang menetap di pesisir sungai mahakam maupun di daerah pantai. Tari jepen biasanya ditampilkan berpasang-pasangan, tetapi dapat pula ditarikan secara tunggal. Tari jepen ini diiringi oleh sebuah nyanyian dan irama musik khas kutai yang disebut tingkilan. Karena populernya kesenian ini, hampir di setiap kecamatan terdapat grup-grup jepen sekaligus tingkilan yang masing-masing memiliki gayanya sendiri-sendiri, sehingga tari ini berkembang pesat dengan munculnya kreasi-kreasi baru seperti Tari Jepen Tungku, Tari Jepen Gelombang, dll.
·         Seni Tari Klasik
Merupakan tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan Kraton Kutai Kartanegara pada masa lampau. Yang termasuk dalam Seni Tari klasik Kutai adalah :
-       Tari Persembahan
Dahulu tarian ini adalah tarian wanita Kraton Kutai Kartanegara, namun akhirnya tarian ini boleh ditarikan siapa saja. Tarian yang diiringi musik gamelan ini khusus dipersembahkan kepada tamu-tamu yang datang berkunjung ke Kutai dalam suatu upacara resmi. Penari tidak terbatas jumlahnya makin banyak penarinya dianggap bagus.
-          Tari Ganjur
Tari ganjur merupakan tarian pria istana yang ditarikan secara berpasangan dengan menggunakanalat yang bernama Ganjur (gada yang terbuat dari kain dan memiliki tangkai untuk memegang). Tarian ini diiringi oleh musik gamelan dan ditarikan pada upacara penobatan raja, pesta perkawinan, penyambutan tamu kerajaan, kelahiran dan khitanan keluarga kerajaan. Tarian ini banyak mendapat pengaruh dari unsur-unsur gerak tarijawa (yogya dan solo).
-       Tari Kanjar
-       Tari Topeng Kutai
E. Upacara Erau
Suasana pembukaan Festival Erau 2016 pada 20 Agustus 2016. Sumber Foto: www.visitmyborneo.com
                 Sumber : http://batampos.co.id/2016/08/23/meriahnya-festival-erau-2016-tenggarong-peserta-luar-negeri-antusias/
Erau berasal dari bahasa lokal/daerah etnis Kutai, dan disebut juga EROH yang berarti ramai, hilir mudik, bergembira, berpesta ria. Erau dilaksanakan secara adat oleh Kesultanan atau kerabat kerajaan dengan maksud tertentu dan diikuti oleh seluruh masyarakat umum dalam wilayah administratif kesultanan.[4] Terdapat tiga pelaksanaan ERAU adat di lingkup Kesultanan Kutai Kartanegara, yakni :
1.    Erau Tepong Tawar
Yaitu erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat keraton pada waktu tertentu berdasarkan keinginan (hajat) terhadap suatu pekerjaan. Dalam pelaksanaan ini Raja bergerak bebas artinya tidak melakukan batsan tertentu yang disebut “TUHING”.
2.    Erau Pelas Tahun
Yaitu erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat keraton berhubungan dengan aktifitas kehidupan rakyat yang bertujuan untuk membersihkan segala macam hal yang mengganggu sumber – sumber kehidupan di permukaan bumi dalam suatu wilayah kerajaan.
3.    Erau Beredar di Kutai
Yakni erau adat yang dilaksanakan oleh kerabat keraton dengan yang di ERAU kan adalah raja, yang ditandai dengan prosesi“Mendirikan Ayu” dan diakhiri dengan prosesi “Merebahkan Ayu”.
F.   Upacara Perkawinan Suku Kutai
Sumber : http://bobo.grid.id/Sejarah-Dan-Budaya/Budaya/Uniknya-Upacara-Pernikahan-Suku-Kutai
Tradisi perkawinan suku kutai berbeda dengan suku-suku di daerah lainnya. Dalam adat kutai, terdapat berbagai prosesi yang dilakukan pada saat acara perkawinan di antaranya:
1.    Upacara Bepacar
Pacar adalah terbuat dari bahan daun pacar yang ditumbuk dan diberi bentuk bundar seperti kelereng kemudian dengan suatu upacara diletakan ke ujung jari telunjuk dan jari manis masing-masing mempelai,kemudian (kurang lebih 6 jam) bila pacar lepas akan meninggalkan bekas warna merah. dalam upacara ini, pacar dari mempelai pria dan wanita di tempatkan dalam wadah tradisional kemudian dipertukarkan dan diarak ketempat mempelai masing-masing yang diramaikan dengan barisan rebana / hadrah.
2.    Upacara Mendi-mendi
Dalam upacara ini mempelai dimandikan atau disiram dengan air bunga dan mayang. Bagi mempelai wanita dilaksanakan oleh para wanita sesepuh keluarga dan untuk pria dilaksanakan oleh para pria sesepuh keluarga.
3.    Upacara Bealis
Setelah melakukan upacara mendi-mendi, mempelai berpakaian menurut adat tradisional dan di dudukan di atas tilam kesturi “penduduk” disediakan sebanyak orangyang akan mengalis mempelai wanita dilaksanakan secara bergilir oleh para wanita sesepuh keluarga. Sebaliknya, untuk mempelai pria dilakukan oleh para pria sesepuh keluarga. Kening mempelai dialis sebagai syarat atau formalitas saja, kemudian disuapi gula merah dan kelapa serta diberi minum air. Setelah ditepung tawari, maka mempelai dihamburi beras kuning.
4.    Upacara Naik pengantin
Upacara ini merupakan puncak acara adat perkawinan kutai yang terdiri dari mengarak pengantin pria oleh para penggapit, pembawa sumahan, serta diramaikan oleh barisan hadrah ketempat pengantin rumah. Setelah itu, sampai ketempat pengantin wanita mengucapakan “shalawat nabi” dihamburi beras kuning. Kemudian “lawa cinde” dan “lawa bokor” merupakan ujian dan persyaratan yang harus dilewati oleh pengantin pria untuk sampai ke pelaminan dimana pengntin wanita telah menunggu kedatanganya
5.    Upacara Geta
Dalam upacara ini kedua mempelai duduk bersila, berhadap-hadapan saling menukar kembang genggam,saling menyuapi lempit sirih, kemudian dikurung dalam kain dijahit kainnya, besaong lilin dan beradu berdiri. Setelah kedua pengntin bersanding keemudian diadakan upacara menghitung uang sumahan antara tetuha kedua mempelai , kemudian dimeriahkan dengan pembacaan tersul yaitu berupa syair pujian untuk kedua mempelai.
6.    Upacara Naik Mentuha
Dalam upcara ini, kedua mempelai diantar ketempat orangtua dan disebut dengan upacara mencuci kaki diatas cobek batu tebal, memotong daun nipah di gagang tembok pusaka dan menarik ketika lepas.
G. Agama Dan Kepercayaan Suku Kutai
Pada masa sekarang orang Kutai umumnya memeluk agama Islam. Sisa-sisa agama Hindu masih terlihat dalam berbagai upacara daur hidup, misalnya upacara naik ayun, pemberian nama bayi, pengobatan tradisional, dan lain-lain.

REFERENSI
Jurnal. Zakiah Hidayati. Sistem Struktur dan Konstruksi Bangunan Vernakular Rumah Suku Kutai Tenggarong, Kalimantan Timur
Jurnal. M. Yamin Sani. Erau: Ritual Politik dan Kekuasaan.
http://kutaikartanegara.com/ragam-kesenian-kutai diakses pada Rabu, 24 Mei 2017.



[1] Jurnal. Zakiah Hidayati. Sistem Struktur dan Konstruksi Bangunan Vernakular Rumah Suku Kutai Tenggarong, Kalimantan Timur
[2] http://kutaikartanegara.com/ragam-kesenian-kutai diakses pada Rabu, 24 Mei 2017.
[3] http://kutaikartanegara.com/ragam-kesenian-kutai diakses pada Rabu, 24 Mei 2017.
[4] Jurnal. M. Yamin Sani. Erau: Ritual Politik dan Kekuasaan.
SUKU GORONTALO
A.    Letak Geografis Suku Gorontalo
 Taufik: Tapal Batas Gorontalo-Sulut Di Gunung Gambuta
Sumber : http://www.antaragorontalo.com/berita/34447/taufik-tapal-batas-gorontalo-sulut-di-gunung-gambuta
Gorontalo terletak di bagian utara pulau Sulawesi antara kerajaan Bolaang Mongondow dan Bwool. Letak Gorontalo yang berada diantara dua kawasan pelayaran besar, yaitu laut China Selatan dan Teluk Tomini, ikut berperan dalam menentukan dinamika politik yang terjadi di Gorontalo, khususnya selama abad XVII. Abad XVII menjadiruang lingkup temporal yang penting bagi sejarah Gorontalo.
Provinsi Gorontalo terletak pada bagian utara Pulau Sulawesi, tepatnya pada 0,19’ – 1,15‘ LU dan 121,23’ –123,43’ BT. Letaknya sangatlah strategis, karena diapit oleh dua perairan (Teluk Toini di selatan dan Laut Sulawesi di utara). Hasil Sensus Penduduk 2010 pendduduk Provinsi Gorontalo berjumlah 1.040.164 jiwa yang terdiri atas 521.914 jiwa laki-laki dan 518.250 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Gorontalo tahun 2010 mencapai 2,28 persen/tahun. Kepadatan penduduk terbanyak berada di Kota Gorontalo dengan kepadatan penduduk 2.719 jiwa/km² sedangkan kepadatan penduduk terkecil berada di Kabupaten Pohuwato yang hanya sekitar 30 jiwa/km².[1]
B.     Asal-usul sejarah Gorontalo
Dahulunya wilayah Gorontalo ini adalah bagian dari provinsi Sulawesi Utara dengan status kabupaten, tapi kini wilayah Gorontalo telah  menjadi provinsi sendiri dengan nama provinsi Gorontalo.
Ditetapkannya kabupaten Gorontalo sebagai provinsi Gorontalo secara resmi pada tanggal 16 Februari 2001 oleh Menteri Dalam Negeri yang meresmikan Provinsi Gorontalo sekaligus melantik Tursandi Alwi sebagai Penjabat Gubernur. Setahun kemudian, Ir. Fadel Muhammad terpilih menjadi Gubernur Pertama Provinsi Gorontalo.
Istilah Gorontalo sendiri, kemungkinan berasal dari beberapa istilah, yaitu:
·       Hulontalangio, nama suku yang tinggal di daerah
·       Hua Lolontalango, yang berarti gua yang digunakan untuk berjalan bolak-balik
·       Hulutalangi, yang berarti mulia
·       Huluo Lo Tola, yang berarti tempat di mana ikan snakehead berkembang biak
·       Pongolatalo atau Pohulatalo, yang berarti: tempat menunggu
·       Gunung Telu, yang berarti gunung tiga
·       Hunto, yang berarti tempat yang selalu dialiri air
Orang Gorontalo sendiri kadang menyebut diri mereka sebagai Hulondalo. Istilah Hulondalo sendiri sudah terkenal di wilayah Gorontalo dan Sulawesi Utara, yang biasanya untuk menyebut daerah Gorontalo atau orang Gorontalo. Asal usul suku Gorontalo, tidak diketahui secara pasti. Apabila dilihat dari struktur fisik orang Gorontalo, memiliki ras mongoloid, hanya saja mungkin sejak beberapa abad yang lalu telah terjadi percampuran ras dengan bangsa-bangsa lain. Sehingga suku Gorontalo saat ini memiliki postur fisik yang beragam. Warna kulit mulai dari kuning hingga ke coklat gelap. Rambut juga bervariasi, dari rambut lurus, ikal dan keriting. Menurut perkiraan suku Gorontalo dahulunya berasal dari daratan Indochina, kemungkinan dari daerah Burma atau Filipina. Dilihat dari bahasa, bahasa Gorontalo memiliki keterkaitan bahasa dengan bahasa-bahasa lain di pulau Sulawesi, seperti dengan bahasa Minahasa-Bugis-Makasar-Toraja, juga dengan bahasa-bahasa di Filipina.[2]

C.    Sosial kemasyarakatan
Menurut sejarah, Jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo, Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara.Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini.[3]
Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang
Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.
Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol ToliToli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.
Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut "Pohala'a". Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala'a :
·         Pohala'a Gorontalo
·         Pohala'a Limboto
·         Pohala'a Suwawa
·         Pohala'a Boalemo
·         Pohala'a Atinggola
Pohala'a Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol di antara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal.[4]
D.    Perekonomian di Suku Gorontalo
Perekonomian di Provinsi Gorontalo sekarang ini menjadi salah satu perekonomian yang paling pesat perkembangannya di Indonesia. Sektor pertanian, perikanan dan jasa adalah sektor yang di andalkan di Provinsi ini karena memiliki kontribusi yang besar bagi pendapatan asli daerah.
Di daerah Gorontalo tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang disebut Saitu dan dibantu oleh seorang pembantu kelompok yang disebut Pulaihe. Ketua kelompok dipilih dan diangkat oleh anggota masyarakat dengan syarat ia seorang yang berwibawa dan mempunyai kekuatan sakti.Mata pencaharian utama adalah berladang dan berburu.Dalam mengerjakan kebun dan menebas hutan yang dibuka untuk ladang, biasanya dipimpin oleh Panggoba yaitu seorang yang pandai melihat bintang.Panggoda dapat menentukan apakah sudah musim panas dan sudah waktunya untuk menebas hutan atau belum.Ia dapat menentukan musim hujan, sehingga dapat pula, menentukan apakah penanaman padi atau jagung sudah dapat dilakukan atau belum.
Perombakan hutan dan pengolahan kebun dan ladang dikerjakan secara gotong royong atau yang dikenal dengan sistem kerja ‘huyula’.Sistem kerja huyula terdiri dari kelompok kerja, antara lain disebut ‘Polita’ atau ‘Heiya’ dan Motiayo’.Polita atau Heiya, yaitu suatu kelompok kerja yang terdiri dari sejumlah anggota pekerja dimana tiap anggota mendapat giliran pekerjaan dalam mengerjakan kebun.Motiayo, yaitu suatu pekerjaan yang dikerjakan secara sukarela melalui undangan dari si pemilik kebun. Pekerjaan motiayo meliputi: perombakan hutan, pemetikan hasil kebun, pengangkutan, dan lain-lain.
Dalam rangka mewujudkan Provinsi Gorontalo sebagai Provinsi Agropolitan, maka berbagai upaya terus dilakukan. Pemerintah Provinsi melakukan berbagai macam program pembangunan, di antaranya melalui perbaikan infrastruktur sebagai pilar pemacu pembangunan, penyediaan sarana produksi pertanian, penyediaan dana penjamin, peningkatan SDM pertanian, memperlancar pemasaran dengan jaminan harga dasar dan lain lain, serta dengan menyusun berbagai program, seperti:
·         Pengembangan tanaman pangan, di versifikasi pangan dan ketahanan pangan daerah;
·         Pengembangan agropolitan menuju satu jutaan ton jagung;
·         Pengembangan agro bisnis;
·         Peningkatan peran dan fungsi kelembagaan petani melalui pembedayaan masyarakat pertanian.
Dalam mengembangkan potensi dan keanekaragaman sumber daya alam di Provinsi Gorontalo, terdapat beberapa peluang investasi untuk dikembangkan, seperti: investasi di bidang agro bisnis (pertanian dan perkebunan), termasuk juga agro industri (nata de coco, minyak kelapa dan Dubuk santan) serta di bidang pertambangan (emas, granit, dll.).[5]
E.     Kesenian dan Kebudayaan Gorontalo
Gorontalo memiliki berbagai macam kesenian dan kebudayaan, dan berikut beberapa kesenian dan kebudayaan yang berasal dari Gorontalo :
Bahasa
Orang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Namun kali ini yang bisa digunakan yaitu dialek Gorontalo
Pakaian Adat
Pakaian Adat Gorontalo
Sumber : http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/07/pakaian-adat-gorontalo-dan-penjelasannya.html
Gorontalo memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara perkawinan, khitanan, baiat (pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang lainnya. Untuk upacara perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau Paluawala. Pakaian adat ini umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.[6]
Rumah Adat
Sumber : http://1000warnaindonesia.blogspot.co.id/2015/10/budaya-gorontalo.html
Gorontalo memiliki 2 bentuk rumah adat yang bernama Bandayo Poboide dan Dulohupa. Dulohupa merupakan rumah panggung yang terbuat dari papan, dengan bentuk atap khas daerah Gorontalo. Pada bagian belakang ada ajungan tempat para raja dan kerabat istana untuk beristirahat atau bersantai sambil melihat kegiatan remaja istana bermain sepak raga.
Alat Musik
Sumber : https://parbudkominfo.wordpress.com/2011/11/23/alat-musik-tradisonal-gorontalo/
Alat Musik asal Gorontalo bernama Polopalo, alat musik ini terbuat dari bambu dan di iket menggunakan tali yang bentuknya menyerupai garputala raksasa. Cara memainkanya yaitu dengan memukulkan Polopala ke lutut dengan irama yang beraturan.
Tari Tradisional
Sumber : http://moradjkeepsmile490.blogspot.co.id/
Gorontalo memiliki beraneka ragam tari tradisional yang berasal dari wilayah tersebut :
Tari Sarode
Tari Saronde adalah tari pergaulan keakraban dalam acara resmi. Tarian ini diangkat dari tari adat malam pertunangan pada upacara adat perkawinan daerah Gorontalo. Saronde sendiri terdiri dari musik dan tari dalam bentuk penyajiannya. Musik mengiringi tarian Saronde dengan tabuhan rebana dan nyanyian vokal, diawali dengan tempo lambat yang semakin lama semakin cepat. Dalam penyajiannya, pengantin diharuskan menari, demikian juga dengan orang yang diminta untuk menari ketika dikalungkan selendang oleh pengantin dan para penari dan diiringin oleh musik khas suara rebana
Tari Dana-dana
Tari Dana-dana merupakan Tarian pergaulan remaja gorontalo yang berkembang dari masa kemasa, tarian ini melambangkan cinta kasih dan kekeluargaan
Warna
Nuansa Warna bagi Masyarakat Gorontalo
Dalam adat-istiadat Gorontalo, setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu. Karena itu, dalam upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama, yaitu merah, hijau, kuning emas, dan ungu. Warna merah dalam masyarakat adat Gorontalo  bermakna ‘ keberanian dan tanggung jawab;  hijau bermakna ‘kesuburan, kesejahteraan, kedamaian, dan kerukunan’; kuning emas bermakna  ‘kemuliaan, kesetian, kebesaran, dan kejujuran’; sedangkan warna ungu bermakna ‘keanggunanan dan kewibawaan’.
Pada umumnya masyarakat adat Gorontalo enggan mengenakan pakaian warna coklat karena coklat melambangkan ‘tanah’. Karena itu, bila mereka ingin mengenakan pakaian warna gelap, maka mereka akan memilih warna hitam yang bermakna ‘keteguhan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. Warna putih bermakna ‘kesucian atau kedukaan’.Karena itu, mayarakat Gorontalo lebih suka mengenakan warna putih bila pergi ke tempat perkabungan atau kedukaan atau ke tempat ibadah (masjid).Biru muda sering dikenakan pada saat peringatan 40 hari duka, sedangkan biru tua dikenakan pada peringatan 100 hari dukaDengan dasar pandangan terhadap warna tersebut, maka pada hiasan untuk upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama di atas (merah, hijau, kuning emas, dan ungu). Sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat Gorontalo memiliki pakaian khas tersendiri untuk berbagai upacara adat baik perkawinan, pengkhitanan, pembaitan, dan penyambutan tamu. Pakaian adat pengantin disebut Paluawala atau Bili’u.  Pada waktu akad nikah pengantin mengenakan pakaian adapt yang disebut Wolimomo dan Payungga. Saat itu pengantin pria berada di kamar adat yang disebut Huwali Lo Humbiya. Paluwala artinya polunete unggala’a to delemo pohla’a,  yakni suatu ikatan keluarga pada keluarga besar: Duluwo lou limo lo pohala’a Gorontalo, Limboto, Suwawa, Bolango, dan Atinggola.
Sedangkan Bili’u berasal dari kata bilowato artinya ‘yang diangkat’, yakni sang gadis diangkat dengan memperlihatkan ayuwa  (sikap)  dan popoli  (tingkah laku), termasuk sifat dan pembawaanya di lingkungan keluarga. Pakaian ini dipakai pada waktu pengantin duduk bersanding di pelaminan yang disebuat pu’ade atau tempat pelaminan. Kemudian pengantin mengenakan pakaian Madipungu dan Payunga Tilambi'o,  yaitu pakaian pengantin wanita tanpa Bayalo Bo”Ute atau hiasan kepala, cukup pakai konde dengan hiasan sunthi dan pria memakai Payunga Tilambi’o.
Yang terakhir sang pengantin mengenakan Pasangan dan Payunga Tilambi’o, yaitu pakaian pengantin wanita dengan tiga perempat tangannya dipakai acara resepsi, di mana pengantin wanita bebas bersuka ria dengan sahabat–sahabat sebaya sebagai penutup acara masa remajanya.
Dalam adat perkawinan Gorontalo sebelum  hari H dilaksanakan acara “Dutu“,  di mana kerabat pengantin pria akan mengantarkan harta dengan membawakan buah–buahan, seperti buah jeruk, nangka, nenas, dan tebu. Setiap  buah yang dibawa juga punya makna tersendiri, misalnya buah jeruk bermakna bahwa ‘pengantin harus merendahkan diri’, duri jeruk bermakna bahwa ‘pengantin harus menjaga diri’, dan rasanya yang manis bermakna bahwa ‘pengantin harus menjaga tata kerama atau bersifat manis supaya disukai orang. Nenas, durinya juga bermakna bahwa pengantin  harus menjaga diri, dan begitu pula rasanya yang manis. Nangka dalam bahasa Gorontalo Langge lo olooto, yang berbau harum dan  berwarna kuning emas mempunyai  arti bahwa pengantin tersebut harus memiliki sifat penyayang dan penebar keharuman. Tebu warna kuning bermakna bahwa pengantin harus menjadi orang yang disukai  dan teguh dalam pendirian.[7]
F.     Sistem religi atau keagamaan di Gorontalo
Pada awalnya animisme dan dinamisme merupakan sistem kepercayaan yang dianut oleh penduduk Gorontalo pada masa dahulu sebelum datangnya Islam, seperti kepercayaan terhadap laut gunung, tanjung, kolam, pohon, dan tempat-tempat yang mengherankan dan mendahsyatkan, mempunyai penghuni yang mereka sebut ilah. Ilah-ilah ini ada yang baik dan ada pula yang jahat.Selain dari pada itu penghormatan kepada roh nenek moyang memegang peranan penting pula.Roh nenek moyang ini pun ada baik dan ada pula yang jahat menurut tabiatnya semasa hidupnya.Selanjutnya baik ilah-ilah maupun arwah-arwah itu semuanya berpengaruh kepada orang yang masih hidup, sehingga sangat ditakuti.Maka kewajiban dari ampuang-ampuang, walian-walian dan tonaas-tonaas untuk menjinakkan dan melunakkan pengaruhnya.
Di daerah Gorontalo, pada masa itu kepercayaan yang dianggap dapat menguasai kehidupan manusia, telah didasari oleh benda-benda alam, seperti:
·         Duputo,oleh masyarakat Gorontalo dianggap sakti, yang berarti angin, karena       dapat memberi hidup, juga dapat mendatangkan malapetaka yaitu angin topan.       Duputo mempunyai keuatan gaib yang tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan,       yang telah memberi hidup serta mengatur alam ini.
·         Tulu,berarti api, dianggap sakti karena memegang peranan penting dalam       kehidupan manusia sebagai pembakar, misalnya digunakan untuk membakar       kemenyan, untuk mengusir roh jahat, dan lain-lain.
·         Taluhu,berarti air, dianggap sakti karena digunakan untuk memasak, mencuci, dan untuk obat, dan biasanya air ini digunakan oleh dukun untuk mengobati orang sakit.
·         Huta,berarti tanah, dianggap memberi kekuatan hidup untuk tumbuh-tumbuhan       dan tempat pemakaman orang yang meninggal. Di Gorontalo ada upacara       ‘mopoahuta’ yaitu suatu upacara pemberian sedekah pada tanah sebagai rasa       terima kasih yang telah memberi hasil tanaman.[8]
G.    Ritual Suku Gorontalo
Sumber : http://thebridedept.com/pernikahan-perpaduan-adat-gorontalo-dan-sunda-ala-carra-dan-aria/
         1.      Upacara Pernikahan
Upacara perkawinan yang berlangsung di dua tempat yaitu di tempat mempelai pria dan wanita, masing masing keluarga mempelai mengadakan pesta dirumah sendiri sendiri. Dalam pesta tersebut selalu berlangsung meriah hingga berhari hari lamanya. Beberapa hari sebelum pesta dilangsungkan semua keluarga dan kerabat telah datang berkumpul untuk membantu pelaksanaan pesta tersebut, baik ibu-ibu maupun bapak bapak selalu datang beramai ramai. Dalam pesta itu mempelai pria dan wanita menggunakan pakaian adat Bili’u dengan tempat pelaminan yang juga dihias menggunakan adat Gorontalo. Pesta yang berlangsung biasanya 3 hari itu dengan masing masing mempunyai sebutan setiap hari yang berbeda.[4]
Seperti uang telah dijelaskan di atas untuk  upacara perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau Paluawala.Pakaian adat ini umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.Dalam adat istiadat gorontalo , setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu, karena itu dalam upacara pernikahan masyarakat gorontalo hanya menggunakan empat warna utama , yaitu merah ,hijau , kuning emas , dan ungu. Warna merah dalam masyarakat gorontalo bermakna keberanian dan tanggung jawab , hijau bermakna Kesuburan, kesehjateraan , kedamaian dan kerukunan, kuning emas bermakna kemulian, kesetiaan ,kesabaran dan kejujuran sedangkan warna ungu bermakna keanggunan dan kewibawaan.
2.       Upacara Nujuh Bulan atau Dalam Bahasa Gorontalo Disebut Tondhalo
Tondhalo ini dilaksanakan pada usia kandungan 7 bulan, dilaksanakan pada pagi hari dan pesta yang meriah dan tentu sangat berbeda dengan upacara nujuh bulan pada umumnya. Baik si ibu jabang bayi maupun suami sama sama menggunakan pakaian adapt dan menyertakan seorang anak perempuan kecil yang diusung oleh sang suami berkeliling rumah sebelum masuk kekamar menjumpai si ibu jabang bayi untuk memutus tali yang melingkar di perut yang terbuat dari daun kelapa.
Dalam upacara ini disediakan berbagai jenis makanan yang dihidangkan diatas 7 buah baki, kemudian makanan tersebut dibagi bagikan kepada para undangan termasuk anak perempuan kecil yang diusung oleh sang suami calon ayah dari jabang bayi.Turun mandi
3.      Upacara Aqiqah
Upacara aqiqah biasanya dilaksanakan 1 bulan atau 40 hari usia anak yang baru dilahirkan, namun ada sebagian masyarakat yang melaksanakan aqiqah lebih awal bahkan ada yang lebih dari 40 hari bergantung kepada kemampuan orang tua si  anak. Upacara aqiqah untuk suku Gorontalo tentu berbeda dengan yang dilaksanakan pada umumnya. Pada jaman dulu para orang tua melaksanakan upacara aqiqah itu pada 7 hari setelah anak dilahirkan, yang disertai dengan upacara naik ayunan atau yang disebut buye buye. Pada upacara ini sekaligus dilaksanakan sunat bagi anak perempuan.
4.      Upacara Khitanan dan Beat
Meskipun kemajuan teknologi telah merambah ke suluruh pelosok Gorontalo, namun adapt istiadat yang telah ada sejak jaman nenek moyang tetap terpelihara dengan baik, bebagai upacara adapt masih tetap dilaksanakan, misalnya upacara Khitanan bagi anak laki laki dan Beat bagi anak perempuan. Dalam upacara ini masih ada sebagaian masyarakat yang menggunakan alat tradisional untuk mengkhitan anak laki-laki. Namun  seiring dengan kemajuan teknologi dan mengurangi resiko yang dapat berakibat fatal maka saat ini telah terjadi pergeseran dengan menggunakan alat yang lebih modern dengan menggunakan tenaga dokter. Khusus upacara Beat untuk anak perempuan yang telah aqil baligh,adat tersebut masih tetap dilakukan.








REFERENSI


  Zulyani Hidayah. “ Ensiklopedi suku bangsa di indonesia”, Jakarta,
  Dewaarka (2009). “Kebiasaan Hidup Bermasyarakat Suku Gorontalo”.
  “Agama, Seni, dan Budaya”. http://www.gorontalo-info.20megsfree.com/asb.html . diakses tanggal : 1 – 06-2017

  Zulyani Hidayah. “ Ensiklopedi suku bangsa di indonesia”,
  Dewaarka (2009). “Kebiasaan Hidup Bermasyarakat Suku Gorontalo”.
  “Sosial Budaya Sulawesi Tengah” dalam http://www.google.co.id/sosial-budaya-Sulawesi-Tengah/ diakses pada tanggal 01 Juni 2017

  “Sosial Budaya Sulawesi Tengah” dalam http://www.google.co.id/sosial-budaya-Sulawesi-Tengah/ diakses pada tanggal 01 Juni 2017

  Haga, B.J., “De Lima-pahalaa (Gorontalo): volksordening, adatrecht en
bestuurspolitiek”, dalam TBG, LXXI, 1931, halaman 155-221

































[1] Zulyani Hidayah. “ Ensiklopedi suku bangsa di indonesia”, Jakarta, hlm 188
[2] Dewaarka (2009). “Kebiasaan Hidup Bermasyarakat Suku Gorontalo”. Jakarta Hal 108
[3] “Agama, Seni, dan Budaya”. http://www.gorontalo-info.20megsfree.com/asb.html . diakses tanggal : 1 – 06-2017
[4] Zulyani Hidayah. “ Ensiklopedi suku bangsa di indonesia”, Jakarta, hlm 193
[5] Dewaarka (2009). “Kebiasaan Hidup Bermasyarakat Suku Gorontalo”. Jakarta Hal 78
[6] “Sosial Budaya Sulawesi Tengah” dalam http://www.google.co.id/sosial-budaya-Sulawesi-Tengah/ diakses pada tanggal 01 Juni 2017
[7] “Sosial Budaya Sulawesi Tengah” dalam http://www.google.co.id/sosial-budaya-Sulawesi-Tengah/ diakses pada tanggal 01 Juni 2017
[8] Haga, B.J., “De Lima-pahalaa (Gorontalo): volksordening, adatrecht en

bestuurspolitiek”, dalam TBG, LXXI, 1931, halaman 155-221

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suku Tengger

AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama-Agama Lokal Dosen Pembimbing: Siti Nadroh, MA Kelompok 6: Durotun Nafi’ah             11150321000007 Nadya Alisha Farha       111503210000 38 Taufik                             111503210000 63 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2017 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. atas rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal yang berjudul “ AGAMA TRADISIONAL ORANG TENGGER ”. Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Oleh karenanya, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Tidak lupa , kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyu

Laporan Observasi (Makalah)

LAPORAN OBSERVASI “DESA SASAK TANGERANG” Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Agama-Agama Lokal Dosen Pembimbing: Siti Nadroh, MA Kelompok 6: Durotun Nafi’ah             11150321000007 Nadya Alisha Farha       111503210000 38 Taufik                             111503210000 63 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA 2017 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ....................................................................................................  1 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................  2 1.1   Latar Belakang .......................................................................................  2 1.2   Rumusan Masalah ..................................................................................  2 1.3   Tujuan Kegiatan .....................................................................