Nama Sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang
terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia di Riau. Mengenai asal-usul orang
Sakai di Riau, ada beberapa pendapat, diantaranya:
·
Suku Sakai merupakan percampuran antara orang-orang
Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua
·
Orang-orang Sakai berasal dari Pagarrruyung dan
Batusangkar
Orang Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia
yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan
Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi sungai Gasib, di hulu sungai Rokan,
pedalaman Riau pada abad 14.
Nama Sakai diberikan oleh orang luar yang merendahkan
suku bangsa itu. Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf, yaitu:
Sungai, Kampung, Anak, Ikan. Hal tersebut mencerminkan pola kehidupan mereka di
kampung, di tepi hutan, di hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup
airnya untuk minum dan mandi.
Salah satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai
adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada ‘animisme’, kekuatan
magi, dan tenung. Dalam kenyataannya, walaupun mereka telah memeluk agama
Islam, tetapi ‘agama asli’ mereka tetap mereka yakini.
Orang Sakai di Muara Basung memeluk agama Islam. Tapi hanya
sebagian saja yang benar-benar menjalankan shalat lima waktu dalam sehari dan
berpuasa di bulan Ramadhan. Mereka yang taat ini justru kebanyakan dari
anak-anak muda.
Adapun inti dari agama nenek moyang mereka adalah
kepercayaan pada keberadaan ‘antu’ atau makhluk gaib yang ada di sekitar
mereka. Mereka percaya bahwa ‘antu’ juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka
bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukimannya (menurut
orang Sakai) berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah
manusia. Mereka memiliki dunia yang berbeda dengan manusia, tapi menempati
wilayah yang juga dihuni manusia. Mereka tinggal di pepohonan, sungai-sungai,
rawa-rawa, hutan, ladang, tempat pemukiman, rumah, dan sebagainya. Mereka dapat
melihat manusia dan hanya orang-orang tertentu yang dapat berkomunikasi dengan
mereka melalui ritual-ritual khusus.
Dalam pandangan orang Sakai, antu memiliki karakter yang
sama dengan manusia, akan tetapi antu tidak memiliki karakter baik atau jahat
(netral). Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi
khusus. Dalam pandangan orang Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga
menjadi bagian dari antu-antu tersebut. Arwah orang yang meninggal ini berada
di sekeliling anggota keluarga, bahkan mereka campur tangan dalam urusan
keluarga yang masih hidup. Karena keduanya tidak dapat berkomunikasi, maka
campur tangan tersebut cenderung berujung pada kesialan. Karenanya, orang Sakai
biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga
yang meninggal. Hal ini dilakukan agar arwah tersebut tidak menempel terus dan
mencampuri urusan dan kegiatan mereka.
Masyarakat Sakai hidup sevara mengelompok di sekitar hulu
sungai atau mata air dan juga di rawa-rawa. Setiap kelompok terdiri dari 2
hingga 5 keluarga batih. Mata pencahariannya adalah bercocok tanam dan berburu.
Mereka hidup secara berpindah-pindah dengan sistem tebang-bakar.
Agama orang Sakai memiliki kedudukan dan peranan yang
penting dalam kehidupan individu dan keluarga, khususnya untuk kesejahteraan
hidup. Walaupun terasing, tapi didalam masyarakat telah ada agama-agama besar
yang masuk, seperti Kristen dan Islam. Sebagian dari masyarakat Sakai memeluk
agama-agama tersebut. Akan tetapi, mereka tetap menjalankan cara-cara kehidupan
sebagai orang Sakai. Karena itulah, agama orang Sakai bersifat lokal dan hanya
berlaku untuk tingkat lokal. Baik dalam pengertian wilayah, maupun corak
kegiatannya yang khusus dan tidak tercakup dalam agama-agama besar. Salah satu
perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan ‘dikir’, yang tidak
sama dengan dzikir dalam Islam. Namun, menurut Bosniar dalam kehidupan
masyarakat Sakai sekarang banyak yang memakai hukum Islam dalam lembaga waris
mereka.
Komentar
Posting Komentar