Masyarakat Samin adalah sebuah kelompok
masyarakat yang terdapat di Blora, sebuah daerah yang berada di kawasan
Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat Samin memiliki kepercayaan, adat istiadat dan
norma-norma tersendiri yang berbeda dengan masyarakat di Jawa pada umumnya. Mereka
hidup berkelompok bersama di luar masyarakat umum, seakan-akan membentuk suatu
komunitas.
Nama Samin berasal dari arti kata Samin
itu sendiri, yaitu kata yang ditasbihkan dari nama seorang tokoh bernama Samin
Surosentiko yang berpengaruh dan membuat sebuah gerakan pemberontakan terhadap
pemerintah jajahan belanda. Konon pengikutnya
sendiri tidak suka dengan sebutan nama Samin sendiri. Mereka lebih suka dengan
sebutan “Wong Sikep” yang berarti orang yang mempunyai cara atau adat
istiadat tersendiri.
Jika dilihat pada zaman sekarang ciri khas
masyarakat Samin di antaranya ialah:Tidak bersekolah, Memakai "iket",
yaitu semacam kain yang diikat di kepala, Tidak berpoligami, Tidak
memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut, Tidak berdagang
karena bagi mereka berdangang menimbulkan sikap ketidak jujuran dan tidak
baik.
Penganut Saminisme mempercayai akan adanya
Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui segala bentuk kebaikan agama karena agama
mengajarkan kebaikan kepada setiap umatnya.
1. Agama
Agama
menurut orang Samin berarti “gaman” (senjata), yaitu “gamane wong
lanang”. Mereka sering mengatakan “aku iki wong, agamaku Adam, jenengku
lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah asal hidup dan mati, dan
segalanya bersumber pada Dia.
2. Manusia
dan Kehidupan Alam Dunia
Menurut
ajaran Samin, dunia ini hanya satu, yaitu urip (hidup). Di
antara semua makhluk yang berada di muka bumi ini yang tertinggi dan Yang Maha
Kuasa adalah manusia “wong”. Yang disebut wong (manusia) oleh ajaran Samin
itu adalah manusia yang baik, yang tidak pernah melakukan kejahatan, atau
mereka yang menyebutnya “wong Jawa”. Wong Jawa di sini tidak diartikan
secara harfiah suku Jawa, melainkan orang yang jujur, tidak jahat, tidak suka
berdusta, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Agar seseorang menjadi
manusia “wong”, maka orang tersebut harus melakukan praktek hidup dan tingkah
laku yang dijalani dengan sepenuh hati. Seperti menjauhi perbuatan dusta (goroh),
menghina (ngina sapa-pada), iri hati dan sebagainya. Orang yang sudah
melaksanakan praktek hidup dan tingkah laku tersebut baru dianggap sempurna
sebagai manusia “wong”.
a. Upacara
Kelahiran
Kelahiran
menurut masyarakat Samin adalah sesuatu hal yang dianggap biasa saja, dan
mereka beranggapan bahwa seseorang yang baru lahir telah membawa jeneng (nama)
sendiri-sendiri. Namajeneng itu dibagi menjadi jeneng
lanang (nama laki-laki) dan jeneng wedok (nama
wanita). Anggapan orang Samin ketika bayi menangis dalam bayi itu berarti sang
bayi sudah ada roh dan telah mendapatkan tempat ngenger (mengabdikan
hidup). Sama seperti masyarakat Jawa, pada umumnya masyarakat Samin juga
mengenal brokohan bancakanmbel-mbel yang dibagi-bagikan kepada
tetangga dinamakanmbrokohiturunan. Kemudian setelah sang bayi
berusia lima hari dibuatkan juga mbel-mbelsepasaran, lalu pada saat
bayi berusia sembilan hari juga dibuatkan mbel-mbel selapan. Penanaman tembuni bagi anak laki-laki ditanam di dalam
rumah agar si anak laki-laki itu ketika dewasa bisa membantu sang ayah dalam
mencari penghasilan. Sementara itu, anak perempuan tembuninya ditanam di luar
rumah dengan harapan si anak cepat mendapat jodoh.
b. Upacara
Khitan atau Ditoreh
Masyarakat
Samin sebenarnya tidak mengenal khitan atau sunat. Mereka mempunyai pandangan,
mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan.
Tidak ada upacara resmi dalam melaksanakan sunat atau ditoreh, hanya
si anak dibawa ke bong supit, yang disebut dengan istilah calak. Masyarakat
Samin mengatakan bahwa disunat atau ditoreh itu mengandung
pengertian memperindah alat kelamin.
c. Upacara
Perkawinan
Dalam
perkawinan, ini harus didasari atas suka sama suka (pada demen) dan tidak
ada unsur paksaan. Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka. Hal yang unik dari prosesi perkawinan masyarakat Samin
ialah adanya masa magang, serta tidak melibatkan aparat
pemerintahan atau petugas pencatatan sipil. Cukup dihadiri orang tua atau wali
dan beberapa saksi, perkawinan sudah sah. Perkawinan menurut ajaran Saminisme,
ialah alat untuk meraih keluhuran budi yang selanjutnya untuk menciptakan atmaja (keutamaan)
yaitu seorang anak yang mulai. Perkawinan bukan saja pertemuan antara seorang
laki-laki dan perempuan saja, melainkan kedua pasangan ini nantinya harus
menjadi satu, teman hidup, teman tidur, dan sebagainya sampai maut yang
memisahkan mereka.
Sebelum
dilangsungkan upacara perkawinan terlebih dahulu diadakan peminangan dari calon
pengantin laki-laki ke calon pengantin perempuan. Setelah peminangan diterima,
calon mempelai laki-laki diantarkan oleh orang tuanya ke rumah calon pengantin
perempuan untuk bertempat tinggal (mbateh) dan hidup bersama dengan
calon pengantin perempuan agar hidup “rukun” (malakukan hubungan seksual),
inilah hal yang paling kontroversial dari tata cara perkawinan masyarakat Samin
yaitu hidup serumah sebelum melangsungkan perkawinan disebut juga sebagai masa magang (menunggu).
Bila keduanya sudah benar-benar bisa melakukan senggama (rukun),
maka calon pengantin laki-laki menghadap calon mertua untuk siap mengawini
mempelai perempuan. Sebaliknya, jika pada masa tunggu ini laki-laki itu tidak
berhasil “menggauli” si perempuan, apabila pihak perempuan menyatakan tidak
suka atau ora demen maka perkawinan tidak bisa dilaksanakan.
Setelah keduanya merasakan suka sama suka, orang tua kedua belah pihak
mendatangi kepala Desa setempat untuk mengadakan ijab kabul dengan mendatangkan
saksi-saksi.
d. Upacara
Kematian
Masyarakat
Samin mempunyai tata cara tersendiri dalam hal kematian. Sama
seperti halnya kelahiran, kematian juga merupakan peristiwa yang biasa. Menurut
orang Samin, orang yang mati itu disebut sebagai salin sandhang (berganti
pakaian). Ini maksudnya apabila roh lepas dari raga (jasmani, tubuh), jiwa
mereka masih tetap hidup dengan memakai jasad yang baru. Manusia itu tidak
pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah jasadnya saja.
Praktek
pengalaman ajaran Samin yang diyakini kebenarannya pada gilirannya mempunyai implikasi
yang sangat kuat pada pembentukkan watak dan karakter mereka. Beberapa watak
yang menonjol dari mereka adalah:
·
Memegang teguh janji dan menepatinya “kukoh
janji”.
·
Jujur. Sikap seorang Samin sangat bersahaja,
memiliki kejujuran yang mengagumkan dan pantang berdusta.
·
Sabar dan tidak suka kekerasan.
·
Ikhlas atau “nerimo”. Mereka orang yang
ikhlas dan menerima.
Ajaran
orang Samin :
a) Angger-angger
pangucap (Hukum Bicara)
b) Angger-angger
pratikel (Hukum Tindak Tanduk)
c) Angger-angger
lakonono (Hukum Perihal yang perlu di jalankan)
Interaksi kepercayaan orang Samin dengan
masyarakat sekitar, khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan Sambungrejo cukup
baik dan akrab, terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan juga terhadap
agama lain dan masyarakat lain,karena ajaran Samin menganggap semua
agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik dan kepercayaan yang
dianutnya juga baik. Bahkan dikatakan sertiap manusia derajatnya sama, tidak
boleh menilai orang lain tetapi menilailah diri sendiri, mereka tidak
mengganggu agama lain sehingga orang lain juga tidak mengganggunya dan ajaran
mereka yang paling menonjol adalah tentng budi pekerti dan menciptakan suatu
kerukunan.
Komentar
Posting Komentar